Pemerintah Diminta Ciptakan Driver Baru Perekonomian Indonesia di Luar APBN

JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyarankan pemerintah perlu menciptakan driver pertumbuhan lain di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), di antaranya investasi dan ekspor yang mampu mendorong penerimaan jangka pendek dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi mencapai delapan persen di tahun depan.

Ketua Umum Apindo Shinta W Kamdani menyampaikan mengingat struktur APBN 2025 lebih fokus pada peningkatan pertumbuhan produktivitas jangka panjang.

"Apindo juga mendorong pemerintah dapat mempercepat realisasi belanja dari APBN dan APBD dikarenakan kedua instrumen tersebut dapat menjadi enabler bagi perekonomian nasional," kata Shinta kepada wartawan, Kamis, 19 Desember.

Dalam melihat peluang dan tantangan di tahun 2025, kata Shinta, Apindo memberikan catatan bagi Indonesia untuk lebih mengoptimalkan pertumbuhan perdagangan di kawasan Asia yang masih menjadi kontributor utama pertumbuhan perdagangan global.

Selain itu, Shinta juga mengingatkan adanya tren China De-Risking yang membuka peluang strategis bagi Indonesia dalam menarik investasi serta memperluas ekspor sebagai alternatif dalam Global Value Chain (GVC).

Pada sisi kebijakan fiskal, Shinta menilai pemerintah perlu melanjutkan kebijakan konsolidasi fiskal dengan menjaga defisit 3 persen terhadap PDB.

"Defisit fiskal yang diambil oleh pemerintah adalah sebesar 2,53 persen terhadap PDB, namun dalam rangka menjaga kebijakan fiskal yang berkelanjutan," ujarnya.

Selain itu, Shinta menilai defisit APBN perlu dijaga sebesar 1,5 persen hingga 1,8 persen dengan melakukan inovasi pembiayaan melalui skema Kerjasama pemerintah Badan Usaha (KPBU), Pembiayaan Investasi Non-Anggaran (PINA), dan Land Value Capture (LVC).

Menurut Shinta pemerintah juga perlu melakukan eksplorasi sumber penerimaan perpajakan untuk meningkatkan tax ratio Indonesia dengan menggarap underground economy, menguatkan kebijakan core tax system, melakukan tax amnesty, menerapkan Non-Filling Systems (NFS) dan reformasi kelembagaan.

Shinta menambahkan saat ini, Indonesia mengalami tantangan signifikan dalam peningkatan daya beli masyarakat jelang tahun 2025 akibat deflasi yang terjadi berturut-turut sejak Mei hingga September 2024.

Menurut Shinta besarnya penurunan jumlah penduduk kelas menengah yang semakin besar, dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada 2024, dimana kelas menengah Indonesia berperan penting dalam mendongkrak konsumsi nasional.

"Hal ini akan diperparah dengan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen per 1 Januari 2025," jelasnya.

Di sisi lain, Shinta menyampaikan inkonsistensi kebijakan ketenagakerjaan juga dinilai berpotensi mengancam stabilitas investasi dan lapangan kerja di Indonesia.

"Dengan pergantian regulasi ketenagakerjaan dan kebijakan pengupahan yang kurang transparan seperti penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 yang dinaikkan sebesar 6,5 persen tanpa kejelasan dasar perhitungannya," jelasnya.