Trauma Masa Kecil hingga Pola Asuh Jadi Pemicu Remaja Berani Bertindak Ekstrem

JAKARTA - Remaja yang memiliki perilaku negatif bahkan berani bertindak ekstrem bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor. 

Menurut Psikolog klinis anak, Ratih Zulhaqqi, S.Psi., M.Psi., ada berbagai faktor yang dapat mendorong remaja melakukan perilaku negatif, di antaranya pola asuh yang tidak mendukung dan trauma masa kecil yang belum terselesaikan.

“Tidak menutup kemungkinan seseorang yang terlihat pendiam atau penurut juga bisa terlibat dalam tindakan negatif. Banyak faktor yang melatarbelakanginya, termasuk pola asuh yang tidak sehat atau pengalaman trauma di masa kecil yang tidak tertangani,” ujar Ratih, seperti dikutip Antara.

Ratih menjelaskan perilaku negatif ekstrem, seperti tindakan kriminal hingga menghilangkan nyawa orang lain, sering kali merupakan puncak dari gunung es. Ini terjadi ketika emosi terpendam pada remaja akhirnya meledak.

Beberapa penyebab utama tindakan agresif pada remaja meliputi kebiasaan memendam dendam, kesulitan mengekspresikan emosi, atau ketiadaan figur yang bisa dipercaya untuk mencurahkan perasaan.

Untuk menghindari situasi tersebut, Ratih menekankan pentingnya peran orangtua dalam menciptakan rasa percaya sehingga anak merasa aman untuk berbagi cerita dan mengekspresikan diri.

“Menjadi figur yang dipercaya anak berarti kita harus bisa menjaga perasaan mereka, merahasiakan apa yang mereka ceritakan, dan menciptakan rasa aman. Dengan begitu, mereka akan merasa nyaman untuk membuka diri kepada kita,” jelas Ratih.

Ratih menambahkan, orangtua dapat membangun rasa percaya dengan selalu menepati janji, mendengarkan cerita anak tanpa menghakimi, dan menghindari menyalahkan anak sebelum mengetahui fakta sebenarnya.

Jika anak merasa tidak diterima atau tidak dipercaya, mereka cenderung memutus komunikasi dengan orangtua dan menjadi lebih tertutup.

“Seberapa terbuka pun seorang anak kepada orangtua, biasanya mereka tetap memiliki beberapa hal yang disimpan sendiri. Ini tidak selalu berarti hal buruk, tetapi bisa berupa hal-hal yang mereka rasa hanya relevan untuk diri mereka. Fenomena ini biasanya mulai muncul saat usia remaja,” kata Ratih.