Ekonom Sebut Kenaikan PPN 12 Persen akan Tingkatkan Level Pajak Indonesia di Global
JAKARTA - Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun 2025 merupakan sebuah langkah yang membuat tarif PPN Indonesia sebanding dengan pajak rata-rata global sebesar 15 persen serta di negara-negara ASEAN.
Selain itu, Josua menyampaikan, kenaikan ini juga diharapkan dapat memperkuat sistem pajak Indonesia dan menjadikannya lebih menarik bagi para investor, seiring dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara serta mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Dalam jangka panjang, peningkatan penerimaan pajak dapat berkontribusi pada Visi Indonesia 2045, yang bertujuan untuk menjadikan negara maju dan salah satu dari lima ekonomi terbesar di dunia," ujarnya kepada VOI, Selasa, 26 November.
Selain itu, Josua menyampaikan kenaikan tarif PPN akan meningkatkan penerimaan negara secara signifikan dan membuat fiskal lebih mampu mendanai proyek infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Josua juga menyampaikan peningkatan PPN juga diharapkan akan mengurangi defisit anggaran dan ketergantungan pada utang, terutama setelah pengeluaran pemerintah yang meningkat selama pandemi.
"PPN lebih mudah ditarik karena tercatat dalam semua transaksi ekonomi, terutama yang berkaitan dengan konsumsi. Akibatnya, administrasi perpajakan menjadi lebih efisien," ucapnya
Sementara itu, Josua menjelaskan jika kebijakan kenaikan PPN tidak diterapkan, akan ada beberapa konsekuensi, seperti pemerintah akan kehilangan potensi pendapatan tambahan, yang dapat memperbesar defisit anggaran dan membatasi ruang fiskal untuk belanja produktif.
Baca juga:
Menurutnya, pembangunan infrastruktur, program sosial, dan investasi strategis lainnya dapat terhambat jika penerimaan negara tidak cukup untuk mendanai kebutuhan tersebut.
Selain itu, Josua menyampaikan ini dapat menyebabkan beban utang pemerintah dan risiko fiskal jangka panjang meningkat karena pemerintah mungkin harus lebih bergantung pada pinjaman untuk menutup defisit.
"Terakhir, reformasi pajak yang tidak progresif dapat memperlambat perbaikan struktur fiskal dan membuat Indonesia kurang kompetitif di wilayah tersebut," pungkasnya.