Neraca Pembayaran Indonesia Surplus 5,9 miliar dolar AS, Ekonom Ungkap Jadi Sinyal Baik
JAKARTA - Perekonomian Indonesia mencatat capaian positif pada kuartal ketiga 2024 dengan surplus transaksi pembayaran sebesar 5,9 miliar dolar AS, setelah dua kuartal sebelumnya mengalami defisit.
Adapun, surplus ini didorong oleh peningkatan transaksi finansial dan modal yang melonjak hingga 122,1 persen dibandingkan kuartal sebelumnya menjadi 6,6 miliar dolar AS.
Ekonom Senior Masyita Crystallin menyampaikan pemulihan ini menjadi sinyal baik bagi stabilitas ekonomi, terutama setelah dua kuartal berturut-turut mencatat defisit.
Selain itu, Masyita menyampaikan cadangan devisa juga kembali ke zona hijau, mencapai 5,9 miliar dolar AS, menunjukkan penguatan di tengah tekanan global.
“Peningkatan cadangan devisa ini memberikan ruang lebih bagi stabilitas moneter, namun kita perlu waspada terhadap volatilitas pasar internasional,” ujarnya dalam keterangannya, dikutip Minggu, 24 November.
Sementara itu, defisit transaksi berjalan menyempit sebesar 32 persen menjadi 2,1 miliar dolar AS, terutama disebabkan oleh peningkatan ekspor jasa dan rasio penerimaan dari transaksi primer maupun sekunder.
Adapun pada kuartal ketiga, impor barang modal dan bahan baku masing-masing meningkat sebesar 10,9 persen dan 13,7 persen, sementara barang konsumsi turun 4,5 persen. Namun, tren ini bertolak belakang dengan PMI (Purchasing Managers’ Index) yang menurun dari 50,7 pada Juni menjadi 49,2 pada September, mencerminkan tekanan pada sektor industri.
Baca juga:
“Peningkatan impor bahan baku dan barang modal memang mencerminkan kebutuhan industri yang terus tumbuh, tetapi penurunan PMI menunjukkan adanya tekanan struktural yang perlu segera diatasi,” katanya.
Masyita menyampaikan penurunan ini juga diiringi sejumlah PHK dan penghentian operasi beberapa perusahaan selama periode tersebut.
Selain itu, indeks penjualan ritel juga turun sebesar 2,9 poin pada September dibandingkan Juni. “Penurunan konsumsi ini perlu diperhatikan serius karena dapat menekan daya beli masyarakat dan meningkatkan kerentanan ekonomi kelas menengah,” ujar Masyita.
Masyita menekankan pentingnya kebijakan pemerintah untuk menjaga konsumsi masyarakat demi memastikan stabilitas pertumbuhan lapangan kerja.
Masyita menyampaikan ekspor Indonesia tetap didominasi oleh China, Amerika Serikat, Jepang, India, dan Uni Eropa, dengan komoditas unggulan berupa batu bara, minyak kelapa sawit, dan produk manufaktur.
Adapun, ekspor ke beberapa negara menunjukkan peningkatan signifikan, seperti Vietnam (30 persen), Jepang (18,7 persen), dan AS (17 persen). Namun, ekspor ke Korea Selatan hanya tumbuh 12,7 persen, lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya.
“Ekspor kita ke pasar utama masih menjadi tulang punggung ekonomi, namun perlambatan ekspor ke China dan Korea Selatan harus menjadi perhatian,” kata Masyita.
Masyita menjelaskan bahwa perlambatan ekspor nikel menjadi salah satu faktor penurunan ekspor ke China, yang hanya tumbuh 0,2 persen setelah beberapa kuartal sebelumnya mencatat penurunan.
Dari sisi investasi, penanaman modal langsung didominasi oleh AS, Singapura, Uni Eropa, Jepang, dan Korea Selatan, dengan sektor industri pengolahan sebagai penerima terbesar. Investasi di sektor ini tumbuh Rp47,5 triliun atau naik 4,7 persen dibandingkan kuartal sebelumnya.
“Peningkatan investasi ini menjadi peluang besar, namun kita harus memastikan pengelolaan yang optimal agar dampaknya benar-benar terasa di lapangan,” tegas Masyita.