Politik Dinasti di Banten Langkah Mundur Dalam Pembangunan
JAKARTA - Aktivis Muda Banten Achmad Fanani Rasyidi menilai, politik dinasti di Banten tidak boleh terjadi lagi.
Menurutnya, politik dinasti adalah langkah mundur sebuah daerah dalam melakukan pembangunan.
Hal ini seperti yang pernah dirasakan oleh pria yang karib disapa Awe tersebut ketika masih aktif sebagai aktivis Mahasiswa dan pergerakan di Tangerang Selatan.
Banyak gerakan masyarakat sipil sulit melakukan kontrol pembangunan kepada pemerintah gegara harus dihadapkan dengan sesama masyarakat sipil lainnya yang cenderung hanya pro pada pemerintah.
"Saya melihat karena waktu itu tekanan di Banten ketika saya masih aktif di aktivis mahasiswa itu, Banten adalah momok yang paling menakutkan itu jawara," kata Fanani.
Turut hadir narsum lainnya Direktur Rumah Politik Indonesia Fernando Emas, dan Founder Nusa Ina Connection Abdullah Kelrey.
Bahkan ketika dirinya bersama dengan masyarakat NGO lain melakukan pendampingan terhadap masyarakat sipil yang berhadapan dengan pemerintah daerah, mereka akan dihadapkan dengan preman dan jawara yang selama ini berkoalisi dengan pemerintah yang sekadar untuk merawat kekuasaan mereka.
Dari upaya pendampingan tersebut, mereka kerap dihadapkan dengan organisasi lain yang melakukan penghadangan dan kontra.
Bahkan, ia menyatakan, adanya dugaan praktik pembuangan limbah oleh sebuah pabrik kepada kelompok ormas tertentu untuk dibuang ke tempat sembarangan.
"Kalau ditanya soal Banten, saya agak merinding. Karena ingat saat mendampingi kawan-kawan organisasi masyarakat sipil di sana, mereka ketakutan karena takut didatangi jawara," ujarnya.
Situasi buruk semacam itu bahkan kata Awe, sudah menjadi rahasia umum.
Lebih parahnya, situasi buruk akhirnya dianggap biasa oleh masyarakat karena keengganannya untuk melawan kekuasaan.
"Akhirnya hal-hal yang seharusnya (dinilai) jahat itu dianggap biasa oleh masyarakat di Banten itu," sambungnya.
Di tambah lagi soal ketimpangan sosial dan ekonomi di Banten saat era pemerintahan dinasti politik keluarga Atut saat itu.
Awe mengaku sangat miris, bagaimana ketimbangan antar daerah satu dengan yang lainnya di satu provinsi tersebut memiliki gap yang sangat besar.
"Sampai di daerah Lebak, kita masih bisa temukan masyarakat anak-anak yang masih buta huruf. Saya sampai merinding bicara soal itu," tuturnya.
Ketimpangan ini menurut Awe bisa dijelaskan dengan bagaimana pembangunan politik di Banten dilakukan dengan basis kekeluargaan. Bagaimana Provinsi Banten dikuasai oleh satu keluarga yang akhirnya mendominasi di berbagai Kabupaten Kota di sana.
"Dengan adanya politik di dinasti politik di Banten sangat berdampak buruk khususnya membangun serikat organisasi pergerakan di Banten cukup sulit. Justru yang paling banyak kita temukan ada gerakan masyarakat sipil yang mendukung pemerintah daerah ketimbang mengritik," jelasnya.
Oleh sebab itu, ia berharap para pemuda dan aktivis di Banten mulai ikut melakukan penyadaran politik secara meluas, sehingga masyarakat sipil lainnya bisa ikut aktif melakukan perbaikan dan pembangunan di wilayah mereka.
"Saya pengin anak-anak muda di Banten turut aktif membangun demokrasi inklusif, karena Banten itu masih sangat jauh sekali (kesadaran politik dan pembangunan daerahnya -red)," tukas Awe.
Upaya ini menurutnya bisa menjadi langkah yang efektif agar Banten tidak kembali ke masa lama yang dinilai banyak sekali catatan buruknya.
"Kalau waktu Atut dulu ada politik dinasti, ini kultur politik jahiliah yang banyak sekali mudharatnya. Dengan adanya runtuhnya Atut waktu ditangkap itu mulai kendur tuh, sudah mulai mengarah ke bentuknya oligarki, belum sampai ke demokrasi inklusif. Tapi yang penting jangan sampai kembali ke politik jahiliyah, jangan kita berantem lagi sama jawara gara-gara kita cuma pengin demonstrasi di depan kantor pemerintahan di Banten," tutur Awe.
"Jangan sampai masyarakat sipil itu kegiatannya hanya mendukung pemerintahan Banten saja. Karena banyak kasus krisis lingkungan seperti pencemaran dari limbah-limbah pabrik ini (sepanjang ada politik dinasti di Banten)," sambungnya.
Dalam momentum Pilkada 2024, baik Pilgub dan Pilwakot/Pilbup di Banten, ia berharap masyarakat sadar dan jangan memilih calon yang berasal dari irisan politik dinasti sebelumnya.
"Jangan sampai kita kembali ke era jahiliahnya Banten. Jangan memilih calon yang pro pada dinasti politik khususnya dinasti politik sebelumnya," ucapnya.
Sementara itu, Founder Nusa Ina Connection Abdullah Kelrey lebih mendorong agar pelaporan yang dilakukan masyarakat Banten terhadap paslon Airin-Ade atas dugaan pelanggaran kampanye di tempat pendidikan dan tempat ibadah segera ditindak lanjuti oleh Bawaslu.
"Bawaslu saatnya harus mendapatkan perhatian yang baik, jangan sampai bawaslu ini cuma digaji oleh negara ya, rakyat gaji tapi kerjanya enggak ada," ucap Kelrey.
Dikatakannya, momentum pelaporan ini, diusahakan untuk ditindaklanjuti dan itu harus wajib didorong oleh seluruh rakyat Banten yang peduli dengan demokrasi.
"Mari sama-sama kita dorong agar bawaslu segera mengambil sikap dan menyelesaikan pelaporan tersebut," sambungnya.
Kelrey melanjutkan dinasti politik Banten itu dengan KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme), dan ibaratnya adik kakak.
"KKN memang tidak boleh hidup berkembang. Jangankan hidup, jangankan berkembang, jangan sampai ada akar-akarnya di negara yang kita banggakan. Kita bicara demokrasi, tapi satu sisi kita mendukung dinasti politik. Sudahlah itu peninggalan zaman belanda, peninggalan zaman penjajah. Urusan-urusan seperti itu jangan lagi kita hidupkan di era demokrasi ini," kata dia lagi.
Dia pun berpesan kepada masyarakat Banten agar kelompok dinasti politik dengan latar belakang korupsi, kolusi dan nepotisme itu jangan sampai lolos.
"Jadi ini momentumnya, mari kita sadar mari kita memanfaatkan momentum ini untuk bangkit dari dinasti politik dan bangkit dari korupsi kolusi dan nepotisme di Banten," pungkasnya.
Baca juga:
Direktur Eksekutf Rumah Politik Indonesia, Fernando Emas mengatakan, kedewasaan demokrasi di Banten harus ditopang dengan ketegasan aparat hukum.
"Saya harap sekali Bawaslu, Kepolisian yang ada di sana yang tergabung dalam Gakkumdu menindaklanjuti laporan itu, apakah itu bagian dari tindak pidana pemilu dan sanksinya apa, berat ringannya seperti apa, ya silakan putuskan. Kalau ada sanksi pidana ya tetapkan, kalau ada sanksi denda ya tetapkan dendanya," kata Fernando dalam kesempatan yang sama.
Kata dia, jangan sampai masyarakat nantinya enggan lagi melaporkan dugaan pelanggaran pidana lantaran aparat penegak hukum tidak merespons atau bahkan tidak menuntaskan kasusnya secara adil dan transparan.
"Kalau tidak ada sanksi yang diberikan oleh penyelenggara pemilu membuat kontestan lainnya akhirnya ingin membuat hal yang sama, akhirnya tidak ada efek jera. Saya harap masyarakat terus mengawasi itu, jangan putus asa ketika laporannya belum ditindaklanjuti," tutupnya.