Kisruh di Apartemen Graha Cempaka Mas Telan Kerugian Rp40 Miliar, Warga Lapor ke Pj Gubernur Teguh

JAKARTA - Sejumlah warga penghuni apartemen Graha Cempaka Mas di Kemayoran membuat aduan atas adanya keributan di tempat huniannya, ke posko pengaduan masyarakat di Balai Kota DKI Jakarta. Warga resah lantaran keributan sudah berlangsung sejak 2013 dan belum menemui benang merah.

Pengawas Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (PPRS), Apartemen Graha Cempaka Mas, Dwi Lies mengatakan, polemik ini bermula dari adanya gugatan kelompok warga terhadap PPRS yang dianggap sudah tak lagi memiliki dasar hukum kuat.

Sebab, pada tahun 2011, terdapat aturan baru Undang-Undang tentang Rumah Susun yang juga mengubah nomenklatur PPRS jadi Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS).

Kelompok warga itu mengadukan persoalan ini ke Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Saat itu, Gubernur Anies Baswedan mengeluarkan Kepgub pencabutan Surat Keputusan (SK) penetapan PPRS Apartemen Graha Cempaka Mas.

Tak terima dengan keputusan itu, Lies dan warga lainnya membawa persoalan ini ke meja hijau. Hingga akhirnya peradilan tingkat kasasi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) menetapkan PPRS kubu Hery Wijaya sebagai pengurus yang sah.

Sedangkan, PPRS tandingan yang dipimpin Tonny Soenanto dianggap tidak sah.

Kemudian hari ini, Lies menyebut dalam aduan yang disampaikan, pihaknya meminta agar Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Teguh Setyabudi mencabut keputusan gubernur mengenai pencabutan PPRS Apartemen Graha Cempaka Mas yang dibuat Anies Baswedan.

"Kami sudah menerima putusan kasasi dari (pengadilan) tata usaha negara, yang inkrah yang berkekuatan tetap untuk Pj gubernur melaksanakan mencabut SK pak Anies Baswedan yang mencabut akte pendirian kami," kata Lies, Selasa, 19 November.

Lies juga meminta agar Teguh segera memerintahkan Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (PRKP) DKI untuk memfasilitasi pembentukan Panitia Musyawarah (Panmus) pemilihan Ketua P3SRS.

"Hari ini kami hadir juga untuk minta Pak Pj Gubernur untuk memerintahkan Dinas Perumahan untuk memfasilitasi kami untuk menyelesaikan Undang-Undang yang berlaku saat ini dan meminta untuk memfasilitasi untuk kami melakukan panitia musyawarah atau panmus," katanya.

"Sehingga kami bisa mengelola daripada Graha Cempaka Mas ini dengan lebih baik lagi," tambah Lies.

Atas kekisruhan tersebut, Lies mengaku pihaknya mengalami sejumlah kerugian, khususnya materi hingga Rp40 miliar.

Sebab menurutnya, kelompok itu mendirikan PPRS tandingan dan ikut menarik Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL) yang lebih murah.

Ia menyebut ada ratusan warga yang membayar IPL ke PPRS tandingan itu. Padahal, dana yang disetor warga tidak pernah dipakai untuk bayar berbagai keperluan seperti listrik dan air karena mereka tak punya kewenangan.

"Sementara listrik itu atas nama satu, sehingga kami PPRS yang sah harus menalangi membayar listrik sebanyak 200 warga yang tidak bayar kepada kami, tetapi membayar pada mereka. Sementara uang itu dibawa sama mereka," katanya.

Akibatnya, Lies menyebut PPRS harus menalangi iuran IPL warga selama sembilan tahun dengan dana dari anggaran Sinking Fund.

"Kurang lebih Rp40 miliar selama sembilan tahun kurang lebih, dan itu adalah uang yang cukup besar untuk warga, untuk memelihara gedung, keamanan warga, sehingga saat ini kami sudah di titik sangat membutuhkan uang itu," ujarnya.