AS-Filipina Sepakat Berbagi Informasi Intelijen Militer, China: Tidak Boleh Merusak Perdamaian Regional

JAKARTA - China memperingatkan segala bentuk perjanjian militer atau kerja sama keamanan tidak boleh menargetkan pihak ketiga hingga merusak perdamaian kawasan.

Itu dikatakan seiring dengan penandatanganan kerja sama berbagi informasi intelijen militer antara Amerika Serikat dan Filipina.

Kementerian Luar Negeri China mengatakan pada Hari Senin, segala segala bentuk perjanjian militer atau kerja sama keamanan "tidak boleh ditujukan terhadap atau merugikan kepentingan pihak ketiga, dan tidak boleh merusak perdamaian regional atau memperburuk ketegangan di kawasan tersebut," dikutip dari Reuters 18 November.

"Satu-satunya pilihan yang tepat untuk menjaga keamanan nasional sendiri dan menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan tersebut adalah dengan mematuhi hubungan bertetangga yang baik dan otonomi strategis," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Lin Jian.

Diberitakan sebelumnya, Amerika Serikat dan Filipina menandatangani kesepakatan saling berbagi informasi intelijen militer pada Hari Senin, mempererat hubungan pertahanan kedua negara untuk menghadapi tantangan keamanan bersama di kawasan tersebut.

Penandatanganan dilakukan oleh Menhan AS Lloyd Austin dan timpalannya Menhan Filipina Gilberto Teodoro di markas militer Manila, sekaligus meresmikan pembangunan pusat koordinasi yang akan memfasilitasi kolaborasi antara angkatan bersenjata mereka.

Disebut Perjanjian Keamanan Umum Informasi Militer atau GSOMIA, pakta tersebut memungkinkan kedua negara untuk berbagi informasi militer rahasia dengan aman.

"Hal ini tidak hanya akan memungkinkan Filipina mengakses kemampuan yang lebih tinggi dan barang-barang mahal dari Amerika Serikat, tetapi juga akan membuka peluang untuk mengejar perjanjian serupa dengan negara-negara yang berpikiran sama," kata juru bicara Kementerian Pertahanan Filipina Arsenio Andolong.

Kerja sama keamanan Washington dan Manila semakin erat di bawah Presiden Joe Biden dan Presiden Ferdinand Marcos Jr., dengan keduanya ingin melawan apa yang dilihat sebagai kebijakan agresif Tiongkok di Laut China Selatan dan dekat Taiwan.

Sebelumnya, Amerika Serikat dan Filipina memiliki perjanjian pertahanan bersama yang dimulai sejak tahun 1951, yang dapat diberlakukan jika salah satu pihak diserang, termasuk di Laut China Selatan.