Studi Tunjukkan Pengaruh Social Distancing pada Jumlah Kematian COVID-19
JAKARTA - Sebuah model matematika dikembangkan oleh para ilmuwan di Imperial College, London, Inggris. Mode itu mengindikasikan bahwa jika tidak ada langkah pemberlakuan social distancing yang diambil, penyakit ini dapat membunuh sebanyak 40 juta orang di seluruh dunia.
Namun jumlah tersebut dapat terpotong setengahnya. Syaratnya, manusia harus berhasil mengurangi kontak sosial sebesar 40 persen. Sedang bagi manula, mereka harus mengurangi interaksi sosial hingga 60 persen.
Dalam memproyeksikan dampak kesehatan pandemi di 202 negara, para peneliti dari Imperial College COVID-19 Response Team mengumpulkan data tentang pola kontak spesifik usia dan tingkat keparahan COVID-19.
Para ilmuwan di Imperial College juga mengatakan bahwa langkah-langkah yang lebih agresif dapat mengurangi korban lebih lanjut. Mereka memperingatkan semua pemerintah di dunia untuk mengambil keputusan-keputusan yang menantang.
Keputusan menantang yang dimaksud termasuk seberapa agresif sebuah pemerintahan mampu memaksakan kebijakan social distancing dan berapa lama mereka mampu mengambil langkah-langkah itu. Dan semua keputusan harus diambil dalam hitungan pekan dan bulan ke depan.
Para ilmuwan menghitung, social distancing yang dilakukan lebih intensif dan berskala luas harus diberlakukan lebih awal dan berkelanjutan. Dengan asumsi pemotongan 75 persen tingkat sosial, para ilmuwan memprediksi 38,7 juta jiwa dapat diselamatkan.
Dalam studi yang dipublikasikan Jumat, 27 Maret, para ilmuwan memasukkan sejumlah skenario, seperti apa yang akan terjadi jika dunia tidak mengambil tindakan untuk virus corona baru yang kini telah menginfeksi lebih dari 700.000 orang dan menyebabkan lebih dari 40.000 kematian.
"Satu-satunya pendekatan yang dapat mencegah kegagalan sistem kesehatan dalam beberapa bulan mendatang kemungkinan adalah langkah-langkah social distancing yang intensif yang saat ini sedang diberlakukan di banyak negara yang paling terkena dampak COVID-19," kata studi, dilansir South China Morning Post, Kamis 2 April.
“Intervensi ini mungkin perlu dipertahankan pada tingkat tertentu, bersamaan dengan tingkat pengawasan yang tinggi dan tindak isolasi yang lebih cepat,” tambahnya.
Proyeksi dari Imperial College juga menunjukkan bahwa negara-negara yang berpenghasilan tinggi akan lebih mampu mengurangi angka kematian dan beban pada sistem kesehatan. Namun, hal tersebut dapat terjadi jika mereka mengadopsi langkah-langkah social distancing lebih ketat.
Para ilmuwan berpendapat bahwa demografi dan sumber daya perawatan kesehatan yang lebih baik di negara-negara kaya berkontribusi terhadap dampak dari COVID-19. Studi tersebut juga mengatakan bahwa social distancing yang intensif kemungkinan memiliki dampak terbesar ketika diterapkan lebih awal.
Baca juga:
Selain itu, social distancing juga perlu dipertahankan sampai batas tertentu hingga vaksin atau penyembuhan yang efektif tersedia. Tetapi, pemerintah juga harus mempertimbangkan keberlanjutan langkah-langkah social distancing tersebut. Studi ini tidak menghitung biaya sosial dan ekonomi yang lebih luas dari aturan social distancing yang ketat.
"Analisa kami menyoroti keputusan yang menantang yang dihadapi oleh semua pemerintahan dalam beberapa minggu dan bulan mendatang, tetapi menunjukkan sejauh mana tindakan cepat, tegas dan kolektif sekarang dapat menyelamatkan jutaan nyawa," tambah para peneliti.
Sebuah studi terpisah oleh para ekonom dari University of Pennsylvania, ShanghaiTech University, dan Chinese University of Hong Kong, memperkirakan bahwa akan ada 65 persen lebih kasus COVID-19 di 347 kota-kota di China, jika Kota Wuhan tidak di-lockdown.
Namun memang langkah lockdown sebagian daerah atau kontrol social distancing bisa sangat rumit bagi otoritas. Hal tersebut dikarenakan mereka juga harus mempertimbangkan sentimen publik dan tekanan ekonomi.