Pengalaman Seru Michelle Ziudith Syuting Film Puang Bos di Bulukumba

JAKARTA - Michelle Ziudith kembali ke layar lebar lewat film Puang Bos yang akan tayang perdana pada 14 November di bioskop. Aktris 29 tahun itu berperan sebagai Pertiwi, pewaris lahan pohon kayu na’nasa paling luas di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Dia beradu akting dengan Ibrahim Risyad sebagai Dewa Rucci, pewaris usaha pembuatan kapal pinisi.

Selain dua nama di atas, film yang diproduksi Megti Media Film dan disutradarai Adink Liwutang ini juga dibintangi oleh Arif Brata, Pritt Timothy, Gilberth Pattiruhu, Zoe Levana, Cahyary Nagara, Mongol Stres, Abdul Rodjak, Zulfadhilah, dan Zulfadhini.

Michelle Ziudith mengatakan, para pemeran telah tampil total untuk film Puang Bos. Mereka menjalani syuting langsung di Bulukumba selama 26 hari.

Bukan tanpa alasan ketika para pemeran harus syuting jauh dari Jakarta, di ujung selatan Pulau Sulawesi. Tim keproduksian ingin cerita yang ditampilkan di Puang Bos, dimainkan dengan latar yang nyata.

“Kita syuting di Bulukumba, itu tempat pembuatan kapal pinisi-nya langsung. Memang dari dulu, turun-temurun bikinnya di situ,” kata Michelle Ziudith saat jumpa pers di Epicentrum Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis, 7 November.

Bukan hanya tempat pembuatan kapal pinisi, Michelle juga menyebut Bulukumba adalah tempat tumbuhnya pohon kayu na’nasa, yang menjadi bahan baku kapal.

“Jadi, kita benar-benar syuting di Bulukumba-nya banget,” ujar Michelle.

Meggy Tribuana selaku Eksekutif Produser mengamini apa yang dikatakan Michelle. Dia ingin menghadirkan film yang berbeda, yang memberikan pesan betapa hebatnya kebudayaan Nusantara.

"Kita memilih Puang Bos karena kita ingin menghadirkan cerita yang berbeda dari biasanya, karena di sini ada (cerita mengenai) kapal pinisi, dan di situ ada pesan-pesannya,” ujar Meggy.

Tidak hanya latar yang nyata, Michelle Ziudith, Ibrahim Risyad, dan beberapa pemeran lain juga diharuskan melafalkan dialog dengan bahasa setempat.

“Di film ini, kita menggunakan full bahasa Makassar beserta logatnya, otomatis akan ada subtitle-nya. Jadi berharap banget buat masyarakat dari kota-kota lain bisa menerima kearifan lokal di film ini,” kata Michelle.

“Yang pasti kita sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mencoba berbahasa Makassar. Mungkin ada satu dan dua kalimat atau logat yang tidak sesempurna itu, tapi karena ada Arif Brata (yang lahir dan besar di Makassar), jadinya kita lebih lancar lah,” timpal Ibrahim.