Asosiasi Pengusaha Atap Asbes Gugat Hak Pelindungan Konsumen
JAKARTA - Para pengusaha atap asbes menggugat keputusan Mahkamah Agung yang menetapkan pencabutan peraturan menteri perdagangan Nomor 25 Tahun 2021 yang abai menetapkan kewajiban label cara penggunaan dan peringatan bahaya pada produk atap asbes.
Tidak tanggung-tanggung, Asosiasi Manufaktur Fiber Cement (FICMA) juga menggugat para pengurus lembaga pelindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM) yang mengajukan judicial review atas peraturan menteri perdagangan tersebut untuk membayar ganti rugi senilai Rp7,9 miliiar per bulan dengan uang paksa Rp5 juta per hari.
FICMA mendalilkan bahwa akibat pencabutan peraturan menteri perdagangan yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung, para pengusaha mengalami kerugian opportunity lost senilai Rp.7,98 triliun. Menghadapi gugatan dari asosiasi pengusaha, para pengurus LPKSM Yasa Nata Budi sebagai tergugat optimis akan memenangkan perkara.
Salah seorang tergugat pengurus LPKSM, Leo Yoga Pranata dalam siaran persnya di Jakarta, kemarin mengatakan, gugatan FICMA menyoal putusan Mahkamah Agung atas gugatan yang sebelumnya dilayangkan LPKSM Yasa Nata Budi.“Waktu gugat ke MA, kami menggunakan hak sebagai lembaga pelindungan konsumen untuk membela kepentingan konsumen terhadap informasi yang jelas, jujur dan terang terhadap produk atap asbes yang beredar di pasaran,” jelasnya.
Leo menjelaskan kemenangan LPKSM Yasa Nata Budi dalam perkara di Mahkamah Agung memberi angin segar dalam pelindungan konsumen dari bahaya penyakit akibat asbes. Dia mengatakan, justru terkejut dengan reaksi dari industri asbes yang menggugat balik.“Kami hargai hak konstitusional FICMA walaupun menurut kami gugatan mereka salah sasaran. Sebaiknya FICMA berpikir ulang menggugat hak konsumen memperoleh informasi yang benar atas produk yang akan di konsumsinya,” ucap Leo.
Secara terpisah, Koordinator Indonesia Ban Asbestos, Muchammad Darisman menjelaskan, langkah hukum yang ditempuh FICMA dengan menggugat kepentingan konsumen adalah preseden buruk bagi kepastian hukum pelindungan konsumen di Indonesia.
Menurutnya, konsumen yang semakin cerdas memutuskan konsumsinya adalah amanat konstitusi yang justru harus dipenuhi negara.“Ini ada lembaga perlindungan konsumen yang ingin mencerdaskan masyarakat dengan meminta pemberian label bahaya dan tata cara penggunaan atap asbes, kok malah di bungkam balik dengan gugatan hukum,” gugatnya.
Darisman menegaskan, jaringan kerja advokasi penyakit akibat asbes yang dipimpinnya akan terus mendukung upaya LPKSM melawan upaya perusahaan atap asbes menutupi fakta bahaya asbes.
“Kita tidak akan tinggal diam, bersama-sama kita akan hadapi upaya pembatasan hak konsumen untuk menjadi lebih cerdas,” katanya.
Ditemui pada kesempatan yang berbeda, LION Indonesia yang telah bekerja mengadvokasi bahaya asbes sejak tahun 2010, menyatakan bahwa keputusan Mahkamah Agung agar produsen wajib mencantumkan label bahaya dan tata cara penggunaan yang tepat adalah hak konsumen.
Hak memperoleh informasi yang jelas, jujur, dan terbuka atas produk konsumsi dilindungi oleh UU Konsumen No.8 tahun 1999.
“Indonesia sudah mendaftarkan 6 orang pekerja dengan penyakit akibat paparan asbes di tempat kerja. Pelajaran penting dari hal ini adalah tidak adanya informasi kebahayaan dan tata cara penggunaan bagi pekerja ternyata telah memakan korban. Kita berkepentingan agar tidak makinluas korban dari kalangan konsumen atap asbes,” jelas Surya Ferdian, Direktur LION Indonesia.
Surya menjelaskan, sudah banyak ditemukan bahan-bahan pengganti asbes yang dapat dipakai industri saat ini. Namun sampai gugatan dilayangkan ternyata bahan-bahan pengganti tersebut tidak cukup masif dipakai.
“Kalau industri tidak mau pakai bahan pengganti, lalu usaha konsumen melindungi diri juga mau di berangus, maka menjadi tugas bersama melindungi benteng hukum konsumen ini berhadapan dengan modal besar. Publik punya hak melawan secara legal,” kata Surya.
LION Indonesia mendukung dan akan ikut serta dalam pembelaan kepada LPKSM Yasa Nata Budi menghadapi gugatan FICMA yang menurutnya tidak masuk akal. Tindakan LPKSM yang menuntut pembatalan peraturan menteri perdagangan yang mengabaikan kebahayaan asbes menurutnya adalah upaya yang justru untuk menyelamatkan FICMA. Kompensasi bagi masyarakat yang menderita penyakit akibat asbes di masa depan tentu bukan harga yang ringan.
BACA JUGA:
“Kami tidak menginginkan industri membayar mahal atas penyakit akibat asbes di masa depan,” jelasnya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2014 mengeluarkan rekomendasi mengenai “Penghapusan Penyakit Terkait Asbes” menurut WHO pada tahun 2014 diperkirakan sekitar 125 juta orang di dunia terpapar asbes di tempat kerja. Menurut perkiraan WHO, lebih dari 90.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat kanker paru-paru yang berhubungan dengan asbes, mesothelioma, dan asbestosis akibat paparan di tempat kerja. Satu dari setiap tiga kematian akibat kanker akibat kerja diperkirakan disebabkan oleh asbes.
Di Indonesia sendiri Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun mencantumkan asbes/asbestos sinonim dengan nama dagang Amianthus dan Chrysolite (krisotil) merupakan bahan berbahaya dan beracun.
Demikian juga disebutkan pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 472 Tahun 1996 tentang Pengamanan Bahan Berbahaya Bagi Kesehatan, yang mencantumkan asbestos sebagai bahan berbahaya yang mempunyai sifat racun dan karsinogenik.