Swasembada Pangan Seharusnya Tak Hanya Soal Target Jumlah Produksi Beras Dalam Negeri
JAKARTA – Ekonom senior Bright Institute, Awalil Rizky menegaskan swasembada pangan bukan semata-mata soal target jumlah produksi pangan dalam negeri, tapi juga meliputi aspek yang lebih luas seperti kesejahteraan petani dan kedaulatan pangan.
Sejak menempati kursi nomor satu di Indonesia, Presiden Prabowo Subianto memiliki ambisi besar dalam mewujudkan swasembada pangan. Menteri Pertahanan periode 2019-2024 ini bahkan memasukkan swasembada pangan sebagai program prioritas dalam visi Astacita. Indonesia ditargetkan mencapai swasembada pangan pada 2028.
Kementerian Pertanian (Kementan) dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memperkuat kolaborasi untuk mencapai swasembada pangan. Selain itu, Kementan juga akan memacu intensifikasi hingga ekstensifikasi lahan.
Pemerintahan Prabowo juga berjanji akan mencetak sawah hingga tiga juta hektar, sehingga dalam setahun Kementan akan mencetak sekitar 700.000 sampai 1 juta hektar lahan.
"Kita sudah mau mulai dari Merauke, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Aceh, Jambi, dan seterusnya," kata Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman.
Namun Awalil Rizky mengingatkan swasembada pangan tidak terbatas hanya pada apa yang disampaikan Mentan Andi Amran. Menurut Awalil, swasembada pangan lebih dari sekadar soal produksi yang melebihi konsumsi.
Swasembada Era Presiden Soeharto
Swasembada pangan selalu menjadi ambisi Indonesia. Bahkan hampir setiap presiden yang menjabat, mereka menggelorakan swasembada pangan sebagai tujuan yang ingin dicapai. Indonesia sendiri sempat merasakan swasembada pangan melalui swasembada beras pada 1984-1988 di era Presiden Soeharto.
Dalam Celebrating Indonesia: Fifty Years with Ford Foundation 1953-2003, disebutkan setidaknya ada dua alasan utama mengapa Soeharto menggenjot proyek swasembada pangan. Pertama, kelaparan yang meluas di penjuru negeri pada 1960-an. Kedua, karena kepincut teknologi yang dikembangkan Lembaga Penelitian Padi Internasional (IRRI) dari University of Philippines.
Singkat cerita, dengan berbagai dinamika sepanjang prosesnya, Soeharto berhasil mewujudkan ambisinya, yaitu mencapai swasembada beras pada 1984. Kala itu tidak ada impor beras yang dilakukan Indonesia. Pencapaian ini membawa Soeharto mendapat penghargaan dari Food and Agriculture Organization atau FAO.
Tapi penelitian berjudul Kebijakan Pangan Pemerintah Orde Baru dan Nasib Kaum Petani Produsen Beras Tahun 1966-1988 karya Hikmah Rafika menjelaskan, pencapaian ini sebenarnya ilusif atau tidak benar-benar menyelesaikan masalah pangan di Indonesia.
Baca juga:
Itu karena sejak swasembada pangan, produksi beras Indonesia sebenarnya mengalami penurunan sejak 1985. Alhasil, Soeharto gagal mempertahankan swasembada pangan sehingga memilih mengalihkan fokusnya.
“Pada tahun 1988 fokus kebijakan pemerintah tidak lagi pada intensifikasi dan perluasan lahan, melainkan diversifikasi yang menggabungkan pertanian dan teknologi,” tulis Hikmah.
Kini di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, Indonesia menargetkan mencapai swasembada beras pada 2027. Selain untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, pemerintah juga memiliki visi menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia pada 2029.
Tantangan Berat Menuju Swasembada Pangan
Tapi untuk mewujudkan itu, Indonesia dihadapkan pada tantangan berat. Guru Besar bidang Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian UGM, Prof. Subejo, S.P., M.P., Ph.D., menuturkan untuk mencapai target swasembada pangan tidaklah mudah karena membutuhkan kebijakan yang tepat untuk mendukung program tersebut, mengingat sektor pertanian sebagai penopang ketahanan pangan justru menghadapi banyak tantangan.
”Target itu tentu tidak mudah dengan segala tantangan yang ada sekarang ini,” ujar Subejo, dikutip laman UGM.
Tantangan pertama menurut Subejo adalah masifnya konversi lahan atau alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Di tengah isu perubahan iklim, konversi lahan menjadi ancaman serius dalam upaya peningkatan produksi padi sebagai bahan pangan pokok masyarakat Indonesia. Kondisi ini menjadi ironi mengingat kebutuhan cetak lahan sawah diprediksi terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan permintaan padi.
Permasalahan kedua terkait pascapanen yang membuat harga jeblok ketika panen raya tiba. Masalah klasik yang terus berulang karena sistem distribusi logistik yang belum merata di seluruh wilayah Indonesia. Subejo beranggapan hal mendesak yang perlu dilakukan adalah pengembangan sistem informasi produksi dan distribusi pangan, termasuk hortikultura, yang melibatkan multi-stakeholders sehingga dapat terdata dengan rinci jumlah dan sebaran produk pertanian serta distribusinya.
“Dengan sistem informasi, peluang distribusi produk lebih merata sehingga stabilitas harga dapat terjamin,” ujarnya. Selain itu, menurutnya, juga perlu didorong industri pengolahan yang bermanfaat ketika produk mentah melimpah maka dapat diproses dan diawetkan dan tetap memiliki nilai ekonomi yang memadai.
Di sisi lain, Awalil Rizky menyoroti kondisi kelaparan dan kecukupan gizi Indonesia yang terabaikan di balik ambisi pemerintah mencapai swasembada pangan. Menurut Awalil, ambisi swasembada pangan Presiden Prabowo tidak menyentuh permasalahan tersebut.
“Kalau kita lihat dari data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional), hanya penduduk pada kuintil empat dan lima pendapatan teratas yang memenuhi angka kecukupan gizi (AKG) energi harian,” jelas Awalil dalam acara webinar pada Selasa (5/7/2024).
“Atau dengan kata lain, sekitar 60 persen penduduk Indonesia saat ini konsumsi makanannya masih belum memenuhi kecukupan gizi. “Kondisinya secara umum lebih buruk dibanding 2019,” imbuhnya.
Sebagai informasi, kuintil pengeluaran yaitu adalah pengelompokan pengeluaran ke dalam lima kelompok yang sama besar setelah diurutkan mulai pengeluaran yang terkecil hingga terbesar. Kuintil terdiri atas kuintil pertama hingga kelima. Semakin tinggi kelompok kuintil menunjukkan pengeluaran yang semakin tinggi.
Awalil juga menyoroti kondisi kelaparan ini dari data Global Hunger Index (GHI) terakhir yang mana Indonesia berada di bawah rata-rata dunia yakni di posisi 77 dari 127 negara. Angka ini bahkan lebih buruk dari Thailand, Vietnam, Malaysia, Filipina, Kamboja, dan Myanmar. Indeks kelaparan Indonesia hanya lebih baik dari Timor Leste dan Laos.
“Yang paling perlu kita perhatikan dalam indeks GHI ini adalah komponen Prevalence of Undernourishment atau Prevalensi Ketidakcukupan Konsumsi Pangan yang diambil dari data BPS. Prevalensi ini pada 2023 mencapai sebesar 8,53 persen, lebih buruk dari 2017—2021, dan tidak mencapai target RPJMN di 5,2 persen,” tambah Awalil.
Tidak Mengesampingkan Petani Kecil
Lebih lanjut, Awalil menjelaskan dalam melihat data atau Prevalensi Ketidakcukupan Konsumsi Pangan di Indonesia, kesenjangan nilai prevalensi ini masih sangat tinggi di antar provinsi serta kabupaten atau kota.
Tercatat, terdapat 291 kabupaten dan kota yang nilai prevalensinya lebih buruk dari nilai nasional, yang mana 291 ini lebih dari setengah jumlah kabupaten dan kota di Indonesia yang berjumlah 514.
Untuk bisa secara efektif menyentuh masalah tersebut, Awalil menilai persoalan swasembada pangan seharusnya bukan hanya mengenai target jumlah produksi pangan dalam negeri, namun juga meliputi aspek yang lebih luas seperti kesejahteraan petani dan kedaulatan pangan.
“Swasembada pangan bukan hanya soalan produksi melebihi konsumsi, melainkan harus diperluas terkait kesejahteraan petani, akses semua orang pada kecukupan pangan, dan kedaulatan pangan,” Awalil menjelaskan.
Kedaulatan pangan ini, lanjut Awalil, diukur dari seberapa besar kita bisa memperoleh harga pangan yang diinginkan rakyat, serta seberapa besar hasil produksi pangan ini dikendalikan oleh negara atau masyarakat secara langsung.
“Bukan dari kendali korporasi, seperti yang kita lihat pada implementasi food estate yang mana memiliki kepentingan terpisah dengan kepentingan masyarakat sebagai konsumen pangan. Ini mana sama saja artinya tidak berdaulat,” ucap Awalil.
Direktur Riset Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, menambahkan, swasembada pangan yang ingin dicapai pemerintah memang seharusnya ikut memperhatikan kesejahteraan petani kecil.
“Sekitar 50 persen dari penduduk miskin kita kepala keluarganya adalah petani. Keluarga petani kita ironisnya saat ini keluarga yang paling rawan pangan,” tutur Andri.
“Oleh karena itu, misi swasembada pangan tidak boleh mengesampingkan kesejahteraan petani kecil di atas kesejahteraan perusahaan yang mendapat anggaran pelaksanaan program,” pungkasnya.