Sritex Dinyatakan Pailit, Industri Tekstil Indonesia Sekarat Digempur Produk China
JAKARTA – Emiten tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang pada Kamis (24/20/2024). Sritex disebut memiliki masalah utang yang menggunung. Tapi benarkan demikian?
Pailitnya Sritex tertuang dalam putusan dengan nomor perkara 2/pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg. Dalam putusan tersebut, Sritex, PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya telah lalai dalam memenuhi kewajiban pembayarannya kepada PT Indo Bharat Rayon, selaku pemohon, berdasarkan Putusan Homologasi tanggal 25 Januari 2022.
"Menyatakan PT Sri Rejeki Isman Tbk, PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya pailit dengan segala akibat hukumnya," mengutip petitum melalui SIPP PN Semarang, Kamis (24/10/2024).
Pailitnya Sritex mengindikasikan kondisi industri tekstil dalam negeri melemah. Pengamat ekonomi Yanuar Rizki menilai Sritex tidak mampu menghadapi tekanan global dari kondisi pandemi COVID-19 dan perang Rusia-Ukraina yang memengaruhi penurunan ekspor tekstil dan garmen. Ini diperparah dengan gempuran produk-produk impor ilegal yang masuk ke Indonesia.
"Kondisi sektor tekstil kita melemah. Ini diikuti oleh maraknya impor baju bekas ilegal," ujar Yanuar.
Politik Dumping dari China
Pengamat ekonomi dari Bright Institute Muhammad Andri Permana menjelaskan, kesulitan operasional tidak hanya dirasakan Sritex, tapi juga dirasakan secara nasional. Andri mengamati menurunnya industri teksil dan produk tekstil (TPT) mulai terasa sejak 2023. Hal ini disebabkan oleh naiknya suku bunga, sehingga menyebabkan biaya modal tinggi.
Secara spesifik, kata Andri, penurunan industri TPT juga disebabkan oleh gempuran barang impor serta ekonomi global, termasuk perang Rusia dan Ukraina yang tak kunjung membaik.
Untuk kasus melemahnya industri TPT di Indonesia, Andri mengatakan pasca pandemi COVID-19 pemulihan ekonomi Tanah Air sebenarnya terbilang cukup bagus secara global. Demand atau permintaan di Indonesia masih bagus, sementara di negara lain termasuk Eropa justru sangat rendah.
Melemahnya permintaan di negara lain membuat industri TPT kesulitan meningkatkan ekspor. Hal yang sama juga dirasakan negara-negara pelaku bisnis tekstil lainnya, yaitu China, Vietnam, Bangladesh, dan India. Permintaan global yang melambat menimbulkan oversupply di China.
Baca juga:
- Kontroversi Pembelajaran Matematika Sejak TK di Tengah Merosotnya Skor Numerasi Indonesia
- Makelar Kasus di Mahkamah Agung Kian Runtuhkan Kepercayaan Publik Terhadap Hukum di Indonesia
- Sebanyak 9,9 Juta Gen Z Menganggur, Tak Semata akibat Pilih-pilih Kerjaan
- Gaduh Pound Fit di Stasiun MRT, Pertanda Jakarta Kekurangan Ruang Terbuka Hijau?
Di tengah rendahnya permintaan negara maju karena kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, menimbulkan oversupply di domestik China. Mereka mengakali ini dengan melakukan gebrakan mengekspor barang ke negara berkembang, salah satunya Indonesia yang memang tingkat demand-nya masih baik-baik saja selepas pandemi. China berhasil menjual barang-barang industri TPT dengan harga murah atau lebih dikenal dengan sebutan dumping.
“Jadi dulu China memakai prinsip yang penting asal laku saja,” ujar Andriadi kepada VOI.
Tapi ini kemudian menjadi bumerang untuk industri TPT dalam negeri, karena barang-barang dari negeri Tirai Bambu justru membanjiri Indonesia. Peminatnya makin tinggi, dan ujung-ujungnya Indonesia tidak bisa bersaing dengan produk mereka yang dijual dengan harga sangat murah.
Padahal sebagai negara berkembang, Indonesia sangat bergantung pada industri tekstil, seperti halnya Vietnam dan Bangladesh. Dua negara tersebut sampai sekarang masih baik-baik saja karena memang tidak membiarkan China memasukkan produknya secara jor-joran.
“Seperti ketika Tiktok Shop diprotes beberapa waktu lalu, yang menyebabkan pasar-pasar tradisional jadi sepi, termasuk Tanah Abang. Karena Indonesia tidak bisa bersaing,” jelasnya.
Hentikan Produk Impor Ilegal
Industri TPT adalah salah satu industri padat karya yang berkontribusi penting pada perekonomian nasional. Data 2022 menunjukkan industri ini menyerap kurang lebih 3,6 juta orang tenaga kerja dan menyumbang 6,38 persen PDB dari sektor nonmigas. Namun demikian, kinerja industri tekstil Indonesia sepanjang 2022 mengalami penurunan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor tekstil dan produk tekstil Indonesia hanya mencapai 1,5 juta ton, atau turun 17 persen dibandingkan pada 2021. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan pada awal pandemi COVID-19.
Andri menjelaskan, industri TPT lebih dari sekadar penopang ekonomi. Industri TPT adalah penopang pendapatan masyarakat karena menyerap tenaga kerja sangat besar. Menurunnya industri TPT menyebabkan penyerapan tenaga kerja berkurang. Faktanya sekarang ini, kata Andri, lebih banyak pekerja di sektor informal dibandingkan formal, sehingga menyebabkan menurunnya jumlah kelas menengah dalam lima tahun terakhir.
“Inilah yang sebenarnya tidak dilihat secara penting dalam prioritas. Industri mana yang ingin dikembangkan?” tutur Andri.
“Sekarang ini pemerintah fokus hilirisasi nikel dan tambang. Kalau dari penyerapan tenaga kerja, industri ini hanya menyerap dua persen,” kata dia menlanjutkan.
Dalam kondisi sekarang ini, butuh industri dengan penyerapan tenaga kerja yang besar. Kalau penyediaan pekerjaan tidak layak, mayoritas tenaga kerja saat ini adalah pekerja informal dan ini insecure atau tidak aman karena tidak bisa mengangkat masyarakat ke kelas menengah. Sektor industri yang menyerap tenaga kerja seharusnya diberikan biaya modal lebih murah.
“Selain itu, tekstil dalam negeri tidak bisa bersaing kalau impor ilegal terus masuk, tidak bayar pajak, dan politik dumping. Maka harus dipastikan barang ilegal harus tidak bisa masuk lagi. Harus dipertegas dari Permendag. Jadi harusnya ini tidak terjadi lagi, jangan dibiarkan,” kata Andri menyudahi.