Akademisi Antikorupsi Minta Ketua MA Baru Wujudkan Peradilan Merdeka dan Bersih

JAKARTA,- Terpilihnya Hakim Agung Sunarto sebagai Ketua Mahkamah Agung (MA) menjadi angin segar upaya pemberantasan korupsi. Sunarto diharapkan bisa mewujudkan peradilan bersih dan berintegritas jauh dari intervensi.

Harapan muncul dari Komisi Yudisial (KY). Ketua KY, Prof Amzulian berharap Sunarto dapat membawa perubahan untuk MA. Sehingga MA menjadi badan peradilan yang agung dan semakin dipercaya publik.

“Terpilihnya Prof Sunarto sebagai Ketua MA, menjadi angin segar penegakan hukum yang berkeadilan serta bebas dari intervensi. Harapannya, semoga MA menjadi badan peradilan yang benar-benar dipercaya publik,” harap Amzulian dalam keterangannya Senin 28 Oktober.

Selain itu, pakar hukum dan pegiat antikorupsi juga mempunyai harapan yang sama pada Sunarto. Saat ini, muruah MA sebagai benteng terakhir untuk mencari keadilan, ada pada sosok Sunarto.

Para pakar mewanti Sunarto agar bebas dari intervensi dalam penanganan kasus hukum. Salah satunya dalam proses penanganan kasus Peninjauan Kembali (PK) mantan Bupati Tanah Bumbu Mardani H Maming.

Sunarto diminta untuk benar-benar mempergunakan hukum pada tempatnya, dan menggunakan nuraninya dalam memproses perkara Maming. Hal itu dikarenakan, adanya dugaan kuat kalau kasus Maming sengaja direkayasa.

Para pakar seperti Prof Romli Atmasasmita dari Universitas Padjadjaran menilai adanya kesesatan hukum dalam putusan hakim.

Romli menegaskan tuntutan dan putusan pemidanaan Maming tidak didasarkan pada fakta hukum, melainkan lebih didasarkan pada imajinasi penegak hukum.

"Proses hukum terhadap terdakwa bukan hanya menunjukkan kekhilafan atau kekeliruan nyata, tetapi merupakan sebuah kesesatan hukum yang serius," ujar Ketua Tim Penyusun RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan RUU Pembentukan KPK tersebut.

Selain Romli, pendiri Indonesia Corruption Watch (ICW) sekaligus aktivis HAM dan antikorupsi Todung Mulya Lubis juga menyoroti terjadinya peradilan sesat (miscarriage of justice) dalam penanganan kasus korupsi yang menyeret Maming ke jeruji besi.

Menurutnya, vonis yang dijatuhkan kepada Maming tidak memiliki alat bukti memadai dan terkesan dipaksakan.

"Bentuk miscarriage of justice yang paling mencolok adalah tidak dipenuhinya hak atas fair trial. Hakim melakukan cherry picking terhadap alat bukti yang dihadirkan selama persidangan. Hakim lebih memilih untuk mempertimbangkan keterangan saksi yang tidak langsung (testimonium de auditu) karena hal itu sesuai dengan dakwaan penuntut umum, ketimbang mempertimbangkan alat bukti lain yang menyatakan hal sebaliknya," kata Todung.

Dia juga berpendapat tidak ada unsur keadilan dalam penjatuhan vonis terhadap terpidana. “Sikap berat sebelah seperti ini jelas merupakan unfair trial. Jika alat bukti yang ada dilihat secara fair, sebenarnya dakwaan penuntut umum tidaklah terbukti," imbuhnya.

Todung juga menjelaskan bahwa hakim memaksakan konstruksi hukum dalam peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi untuk dapat menyimpulkan terpenuhinya unsur dalam Pasal 12 huruf b Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah melalui Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.

Sedangkan penggunaan analogi sebagai dasar untuk menjatuhkan vonis merupakan pelanggaran berat terhadap prinsip legalitas.

"Pemaksaan konstruksi hukum yang paling terlihat adalah menjadikan keuntungan dan pembagian hasil usaha sebagai pemberian hadiah. Dengan menyatakan bahwa keuntungan dari hasil usaha sama dengan pemberian hadiah, maka hakim sebenarnya sedang melakukan analogi. Padahal, analogi merupakan pelanggaran berat terhadap prinsip legalitas, yang merupakan prinsip paling mendasar dalam hukum pidana," katanya.

Dia juga berharap agar MA benar-benar mengevaluasi kembali secara teliti terhadap vonis yang sudah dijatuhkan kepada terpidana setelah amicus curiae dikirimkan.

"Secara spesifik dalam perkara Maming, saya berharap agar Mahkamah Agung dalam proses peninjauan kembali bisa benar-benar menyoroti miscarriage of justice yang terjadi, dan mengoreksinya. Untuk itu, saya akan menyiapkan sebuah amicus curiae berkenaan dengan perkara ini untuk saya kirimkan kepada Mahkamah Agung di pekan depan," tuturnya.

Senada, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia Prof. Dr. Topo Santoso, SH, MH juga menegaskan agar Mardani Maming segera dibebaskan karena adanya kekhilafan hakim. Akademisi yang juga menjabat sebagai Tim Asistensi Penyusunan Rancangan UU Pemberantasan Tipikor dan RUU KUHP Nasional ini, menyatakan ada beberapa hal yang menunjukkan kekeliruan hakim yang mengadili Mardani Maming.

“Putusan pengadilan atas Mardani H Maming dengan jelas memperlihatkan kekhilafan atau kekeliruan nyata. Unsur menerima hadiah dari pasal yang didakwakan tidak terpenuhi karena perbuatan hukum dalam proses bisnis seperti fee, dividen, dan utang piutang merupakan hubungan keperdataan yang tidak bisa ditarik dalam ranah pidana,”katanya.

Apalagi, ada putusan Pengadilan Niaga yang ditempuh dalam mekanisme sidang terbuka. Putusan itu menyatakan tidak terdapat kesepakatan diam-diam, karena itu tidak ada hubungan sebab akibat antara keputusan terdakwa selaku Bupati dengan penerimaan fee atau dividen.

“Sehingga tidak terdapat niat jahat (mens rea) pada perbuatan terdakwa. Dengan demikian, Mardani H Maming harus dinyatakan bebas,” kata akademisi yang juga menjadi pengajar pendidikan calon Hakim Tipikor di MA ini.

Sementara itu, pengajar Hukum Pidana di Fakultas Hukum UII, Dr Mahrus Ali menilai dengan tegas menyatakan bahwa Mardani H Maming tidak melanggar semua pasal yang dituduhkan sehingga harus dibebaskan demi hukum dan keadilan.

“Koreksi putusan menjadi penting, ini tidak hanya untuk Maming, tapi untuk mempertebal rasa kepercayaan publik pada Mahkamah Agung,” kata Mahrus Ali.