Menanti Keseriusan Kementerian Komunikasi dan Digital Tangani Isu Keamanan Siber
JAKARTA – Kementerian Komunikasi dan Informatika resmi berubah nama menjadi Kementerian Komunikasi dan Digital. Keamanan data pribadi, pemberantasan judi online, internet ramah anak, dan digitalisasi layanan pemerintah menjadi fokus utama Meutya Hafid pada program 100 hari pertamanya.
Seusai diumumkan sebagai menteri, politisi Partai Golkar ini menyampaikan bahwa perubahan nomenklatur Kementerian Kominfo menjadi Kementerian Komdigi dilakukan untuk menjawab tantangan zaman yang makin berkembang ke ranah digital.
"Artinya, komunikasi memang ke depan juga tentu berbasis digital dan juga kita tahu tadi kemarin PR kita adalah bagaimana mengamankan data-data kita itu juga terkait dengan digital dan pemerintahan yang efisien efektif itu juga bisa dilakukan dengan juga menerapkan digital," kata Meutya di Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (20/10).
Meutya menjabat sebagai Menkomdigi menggantikan pendahulunya, Budi Arie Setiadi, yang kini menjabat sebagai Menteri Koperasi. Kehadiran Meutya membawa harapan baru dalam menghadapi berbagai tantangan komunikasi dan teknologi di Indonesia.
Mantan jurnalis ini dihadapkan pada tugas yang tidak mudah dalam menakhodai transformasi digital di Tanah Air. Mulai dari kebocoran data pribadi yang berulang kali terjadi, sampai situs judi online yang kian menjamur.
Pemerintah Dinilai Setengah Hati
Publik pasti masih ingat bagaimana Meutya Hafid secara gamblang menyebut jebolnya Pusat Data Nasional Sementara atau PDNS di Surabaya akibat serangan siber Ransomware adalah sebuah kebodohan. Pernyataan itu disampaikan di depan Kemenkominfo dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) selaku pengelola PDN.
“Ini masalah kebodohan. Punya data nasional tidak ada satupun backup berarti kan?” kata Meutya dalam rapat kerja di Gedung DPR, Jakarta, pada Kamis, 27 Juni 2024.
Meutya terlihat heran dengan pernyataan Kepala BSSN Hinsa Siburian yang mengakui kurangnya tata kelola sehingga Kominfo tidak melakukan backup atau cadangan data. Pertengahan tahun ini, sebanyak 210 instansi pemerintah terdampak dan layanan publik berbasis digital terganggu menyusul serangan siber terhadap PDNS di Surabaya.
Sepak terjang Meutya Hafid di kancah politik dimulai ketika ia bergabung dengan Partai Golkar pada 2009. Ia menjabat sebagai Ketua Komisi I DPR periode 2019-2024 dan berasal dari daerah pemilihan (dapil) Sumatra Utara. Perempuan 46 tahun ini kembali terpilih sebagai anggota DPR untuk periode 2024-2029 di dapil yang sama.
Sebagai Ketua Komisi I DPR periode 2019-2024, ia memiliki pengalaman luas dalam menangani isu-isu strategis, termasuk bidang pertahanan, intelijen, komunikasi, dan informasi. Pengalaman ini memberikan pemahaman tentang tantangan yang dihadapi sektor telekomunikasi dan informasi di Indonesia.
Baca juga:
- Kabinet Gemuk Bentukan Prabowo Subianto, Tumpang Tindih Kekuasaan dan Pemborosan Anggaran
- Tantangan Presiden Prabowo Subianto Menuju Indonesia Emas 2045
- Tradisi Tabok Sirih, Mitos yang Dipercaya Turun Menurun untuk Menangani Speech Delay
- Erina Gudono Pamer Makan Gaya Omakase Usai Melahirkan: Amankah Makanan Itu bagi Kesehatan Ibu?
Ia juga dikenal vokal saat menjabat sebagai Ketua Komisi I DPR. Ucapannya saat rapat kerja beberapa waktu lalu menjadi buktinya. Kini, ia berada di tempat yang sebelumnya diduduki Budi Arie Setiadi. Menjabat Menkomdigi, Meutya Hafid dihadapkan pada banyak tantangan besar yang perlu segera ditangani. Salah satu isu paling krusial adalah tentang pelindungan data pribadi.
Di era digital ini, kebocoran data pribadi menjadi ancaman serius bagi privasi individu dan keamanan nasional. Kasus-kasus kebocoran data yang melibatkan berbagai instansi pemerintah maupun perusahaan swasta telah memicu kekhawatiran masyarakat. Setelah disahkannya Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP), Kemenkomdigi memiliki peran vital dalam memastikan aturan ini diimplementasikan secara efektif.
Namun Pratama Persadha, Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC tidak melihat isu terkait keamanan siber termasuk fokus pemerintah, setidaknya ini terlihat dari orasi pidato pelantikan Presiden Prabowo Subianto yang tidak menyinggung masalah ini.
UU PDP yang sudah berlaku penuh sejak 18 Oktober 2024 belum bisa dilaksanakan sepenuhnya penegakan hukumnya karena belum ada lembaga yang secara resmi menjalankan serta mengawasi hal-hal terkait Pelindungan Data Pribadi, termasuk menjatuhkan sanksi kepada institusi baik pemerintah atau swasta yang menjadi korban kebocoran data.
Indonesia Negara Open Source
Bukti bahwa pemerintah sebelumnya tidak memiliki konsen atau tidak peduli terhadap urgensi Pembentukan Lembaga Pelindungan Data Pribadi semakin bertambah dengan adanya penyataan dari Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Wamenkominfo) Nezar Patria pada 14 Oktober lalu yang menyatakan bahwa kemungkinan Lembaga Pelindungan Data Pribadi masih membutuhkan masa transisi selama 6-12 bulan. Seharusnya, hal ini tidak perlu terjadi lagi jika memang pemerintah merasa serius terhadap urgensi penegakan UU PDP.
“Serangan siber yang beruntun dan bertubi-tubi sepertinya juga menunjukkan kurang pedulinya pemerintah terkait isu keamanan siber, karena meski tidak ada kerugian secara finansial dengan terjadinya serangan siber namun reputasi serta nama baik negara Indonesia akan tercoreng di mata dunia,” kata Pratama dalam keterangan yang diterima VOI.
Pratama menambahkan, Indonesia bahkan disebut sebagai negera open source yang datanya boleh dilihat oleh siapa saja buntut dari banyaknya peretasan yang terjadi selama ini. Akhirnya, pemerintah baru kelimpungan saat terjadi serangan siber dan melakukan penanganan yang acapkali terlambat serta membutuhkan waktu yang lama.
Bentuk ketidakpedulian lain dari pemerintah adalah tidak adanya tidak publikasi dari laporan terkait insiden tersebut. Selama ini berbagai kasus peretasan yang mengakibatkan kebocoran data yang terjadi tidak pernah ada yang diumumkan hasil audit serta digital forensiknya.
“Jangankan hasil audit serta digital forensik, bahkan banyak institusi yang tidak mengakui bahwa mereka mengalami kebocoran data dan menganggap kebocoran data terjadi pada pihak lain yang juga memiliki data serupa, padahal Pengendali Data serta Pemroses data merupakan pihak yang bertanggung jawab jika terjadi kebocoran data,” Pramata melanjutkan.
Oleh karena itu, dituturkan Pratama, pemerintahan baru yang dipimpin oleh Presiden Prabowo harus memiliki konsen terhadap urgensi pelaksanaan UU PDP serta pembentukan Lembaga Pelindungan Data Pribadi, karena jika tidak memiliki konsen maka dapat dipastikan bahwa insiden siber yang diikuti dengan kebocoran data akan terus terjadi.
Masyarakat yang menjadi korban tidak akan dapat berbuat apa-apa karena kebocoran data tidak terjadi pada perangkat mereka namun terjadi pada sistem yang dimiliki oleh Pengendali Data Pribadi serta Pemroses Data Pribadi.
Selain pelindungan data pribadi, tantangan lain Meutya adalah penguatan infrastuktur telekomunikasi. Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas, sehingga pemerataan infrastruktur telekomunikasi terutama di wilayah terdepan, terluar, tertinggal (3T) bisa tercapai.
Pemberantasan judi online juga menjadi salah satu pekerjaan rumah terberat Meutya. Kemenkomdigi di bawah Meutya diharapkan semakin berperan menutup situs judi online karena ini menjadi masalah sosial yang merusak moral masyarakat.