Optimalisasi dan Efisiensi Belanja Solusi Pembengkakan Defisit Anggaran Era Prabowo-Gibran

JAKARTA - Pengamat ekonomi UNS, Mulyanto mengungkapkan bahwa mengatasi defisit anggaran menjadi tantangan pertama pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

Menurutnya, penambahan jumlah kementerian termasuk lembaga dan badan-badan baru lain di pemerintahan mendatang akan semakin membebani keuangan negara. Padahal, profil anggaran RI pada 2024 mengalami defisit karena pendapatan negara hanya berkisar Rp2.800 triliun sedangkan belanja negara mencapai Rp3.300 triliun

“Artinya ada defisit sekitar Rp500 triliun tahun ini. Konsekuensi penambahan kementerian dan lembaga tentu ada pembengkakan anggaran. Okelah tambah jumlahnya, tapi jangan sampai menambah defisit anggaran,” ujar Mulyanto, Minggu 20 Oktober 2024.

Dia menjelaskan, solusi yang umumnya diambil apabila terjadi defisit anggaran adalah utang. Tapi, pemerintahan ke depan harus memperhatikan betul rasio utang, yakni dikatakan aman bila berada di angka kurang dari 60 persen PDB.

“Sekarang utang Indonesia menurut beberapa analis sudah Rp8.000 triliun lebih. Ketika dibagi PDB angkanya sudah mendekati 60 persen. Nah ini jadi PR bagi Pak Prabowo jangan sampai memperlebar defisit anggaran karena berpengaruh pada utang negara,” imbuhnya.

Mulyanto menambahkan, optimalisasi pendapatan negara dan efisiensi belanja sebenarnya bisa menjadi solusi mencegah pembengkakan anggaran. Syaratnya, pemerintahan Prabowo-Gibran harus bisa memastikan generating income tumbuh besar dan bisa mengerem belanja.

“Istilahnya spending better agar defisit anggaran tidak terjadi pembengkakan lagi. Makanya kinerja keuangan itu penting. APBN itu ketika belanjanya besar tapi kemampuan pendapatan kecil, pasti larinya ke utang. Nah utang itu kan meninggalkan beban bagi generasi yang akan datang,” tukasnya.

Sayangnya, pemerintahan Prabowo-Gibran juga tidak akan mudah dalam menggenjot pendapatan negara, termasuk dari sektor pajak. Sebab, selama ini realisasi pajak belum optimal mengingat lemahnya daya beli masyarakat dan pendapatan per kapita yang rendah.

“Lha bagaimana masyarakat mau bayar pajak dan bisa menambah pendapatan negara jika daya beli dan pendapatan per kapitanya tidak dikuatkan,” kata Mulyanto.