Regenerasi Atlet Difabel Bisa Terhambat, Ini Penyebabnya

JAKARTA - Regenerasi atlet difabel bisa menjadi problem dan mengalami hambatan. Minimnya dukungan dari orang tua atau keluarga menjadikan atlet-atlet muda bertalenta tak kunjung bermunculan seperti terungkap dalam Seminar Olahraga Disabilitas Kementerian Pemuda dan Olahraga di Yogyakarta.

Regenerasi atlet menjadi tantangan National Paralympic Committee (NPC). Penyelenggaraan Pekan Paralimpiade Nasional (Peparnas) yang telah usai di Solo memang memunculkan sejumlah atlet muda yang bakal menjadi tulang punggung di pentas Asia Tenggara, Asia maupun Paralimpiade.

Namun atlet muda harus terus dimunculkan karena adanya regenerasi. Persoalannya ada hambatan besar yang menyulitkan munculnya generasi anyar atlet difabel. Orang tua atau keluarga dari anak difabel yang sesungguhnya punya potensi di salah satu cabang olahraga jarang mendukung anaknya untuk meraih prestasi.

"Utamanya karena orang tua merasa malu mengakui keberadaan anaknya yang penyandang disabilitas. Ini salah satu tantangan terbesar dan menjadi kendala utama. Apalagi ada stigma buruk yang dialami anak difabel," kata Dr. Rumpis Agus Sudarko, MS, pengajar Departemen Pendidikan Kepelatihan Olahraga FIKK UNY yang juga Ketua Bidang Pembinaan Prestasi NPC DIY dalam seminar bertajuk 'Tantangan Membangun Kebiasaan Berolahraga pada Anak Penyandang Disabilitas', Selasa, 15 Oktober 2024.

Hal itu dirasakan Rumpis sendiri yang memiliki anak difabel. Bahkan dirinya sampai mendapat tudingan yang sangat tidak nalar.

"Saat ada yang tahu anak saya termasuk difabel, saya dianggap mengorbankan anak jadi korban orang tua yang mencari pesugihan," kata Rumpis menanggapi begitu kuat stigma buruk terhadap anak difabel. Ini yang menjadikan orang tua malu menampilkan anaknya yang berkebutuhan khusus untuk berkembang dan meraih prestasi.

"Tak sedikit orang tua yang tak ingin menunjukkan anak yang disabilitas. Jadi kita harus memerangi stigma yang dialami anak difabel. Selama ini masyarakat telah memarginalkan mereka," ujarnya.

"Kita baru saja menggelar Peparnas di Solo. Saya sungguh terkesan dengan masyarakat Solo yang tidak memberikan stigma buruk kepada atlet difabel. Bahkan mereka sangat antusias menyaksikan pertandingan dan memberi apresiasi atas perjuangan atlet," kata dia yang mendorong orang tua agar memberi kesempatan anak yang menyandang disabilitas untuk meraih prestasi di bidang olahraga.

"Banyak sekali manfaat berolahraga bagi penyandang disabilitas. Olahraga akan menjadikan penyandang disabilitas menjadi sehat, juga meningkatkan daya tahan tubuh, dan kebugaran. Dari sisi sosial, olahraga membantu inklusi sosial karena akan mengurangi stigma yang kadang dialami penyandang disabilitas," tutur Rumpis.

"Dari sisi ekonomi, bahkan para penyandang disabilitas yang berprestasi bidang olahraga bisa mendapatkan penghasilan setelah berlaga menjadi juara. Yang lebih penting, olahraga akan melatih anak-anak penyandang disabilitas menjadi lebih mandiri," ucapnya.

Seminar tersebut merupakan salah satu wujud komitmen Kemenpora mendukung inklusivitas berolahraga bagi penyandang disabililitas. Seminar juga bertujuan mengidentifikasi tantangan yang dihadapi orang tua, guru, dan lingkungan terdekat dalam mengajarkan kebiasaan olahraga kepada anak penyandang disabilitas. Selain itu membantu memberikan pemahaman dan wawasan mengenai pentingnya olahraga bagi anak penyandang disabilitas.

Materi yang disampaikan juga menyediakan solusi praktis yang dapat diterapkan dalam membangun kebiasaan olahraga pada anak-anak penyandang disabilitas. Mereka diharapkan dapat menginspirasi dan mendorong kerjasama antara pemerintah, lembaga pendidikan, media, serta masyarakat dalam mendukung kegiatan olahraga pada anak

penyandang disabilitas.

Asisten Deputi Olahraga Penyandang Disabilitas Kemenpora, Dr. Ibnu Hasan, M.Pd, dalam sambutannnya saat membuka acara menyampaikan bahwa Kemenpora terus mendukung terwujudnya inklusivitas bidang olahraga.

"Undang-undang No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menjamin bahwa penyandang disabilitas juga mendapatkan perlakukan, kesetaraan yang sama. Tidak boleh lagi ada stigma negatif terhadap para penyandang

disabilitas, termasuk kesempatan berolahraga," kata Ibnu.

"Negara harus hadir untuk menghapus stigma buruk itu. Selain itu, kita harus memberi ruang kepada mereka untuk berprestasi. Mereka harus mendapat kesetaraan dan kebersamaan sehingga memiliki hak yang sama. Jadi, sekolah bukan sekadar tempat untuk belajar formal tetapi juga hidup," ujar dia lagi.

Seminar tidak hanya menghadirkan pengamat yang juga akademisi tetapi juga anak penyandang disabilitas berprestasi di bidang olahraga, Muhammad Rafi Zulfandi dan Syifa Nur Arrafah. Mereka hadir bersama orang tua masing-masing.

Risvani, orang tua Rafi yang menyandang disabilitas grahita menceritakan bagaimana dukungan lingkungan berpengaruh besar pada pencapaian prestasi anaknya.

"Proses Rafi menemukan bakatnya sangat panjang. Saya minta dia berlatih taekwondo, tetapi kurang nyaman. Saya coba renang, juga pernah ikut basket, bola tangan, atletik, dan badminton. Saya berupaya terus hingga Rafi menemukan bakatnya. Alhamdulillah cocoknya di badminton dan akhirnya berprestasi," kata Risvani.

Ke depan para orangtua, pendidik, serta pihak-pihak terkait untuk terus mendukung anak-anak penyandang disabilitas agar selalu aktif bergerak dan mengembangkan potensi mereka melalui olahraga.