Film Bisa Jadi Jembatan Menyatukan Nilai Budaya dan Gaya Hidup Berkelanjutan

JAKARTA - Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), menyatakan, film dapat menjadi media yang menyatukan nilai-nilai budaya dengan gaya hidup berkelanjutan.

Pernyataan tersebut terkait dengan digelarnya Science Film Festival di Indonesia yang memasuki tahun ke-15. Festival ini berlangsung dari 15 Oktober hingga 30 November 2024 secara hybrid, menyasar siswa sekolah dasar hingga menengah atas di 100 kabupaten dan kota di Indonesia.

“Budaya mempengaruhi cara kita berinteraksi dengan alam dan sesama. Dengan mengedepankan prinsip emisi nol bersih dan ekonomi sirkular, kami ingin mendorong perubahan budaya yang mendukung keberlanjutan, tanggung jawab, dan pelestarian bumi,” ungkap Hilmar seperti dikutip Antara.

Festival yang diinisiasi oleh Goethe-Institut ini mengangkat tema “Emisi Nol Bersih dan Ekonomi Sirkular” melalui pemutaran film-film internasional serta kegiatan eksperimen sains interaktif.

Hilmar menambahkan, ekonomi sirkular sejalan dengan nilai-nilai tradisional, seperti pemanfaatan kembali, perbaikan, dan daur ulang. “Praktik ini tidak jauh berbeda dengan budaya leluhur yang mengutamakan kebijaksanaan dan harmoni dengan alam,” jelasnya.

Menurutnya, kekuatan media film dapat menjadi alat untuk menginspirasi masyarakat agar lebih sadar lingkungan dan mengubah gaya hidup ke arah yang lebih berkelanjutan.

Di kesempatan yang sama, Constanze Michel, Direktur Goethe-Institut untuk Wilayah Asia Tenggara, Australia, dan Selandia Baru, menyampaikan festival ini menghadirkan berbagai karya film internasional yang menyoroti pentingnya konsep emisi nol dan ekonomi sirkular untuk merespons krisis iklim.

“Kami ingin memperlihatkan sains bisa dipelajari dengan cara yang menarik dan menyenangkan. Melalui film-film bertema ilmiah dari berbagai negara, kami berharap dapat memicu rasa ingin tahu dan kreativitas anak-anak serta remaja di Indonesia dan kawasan lainnya, seperti Asia Selatan, Timur Tengah, dan Afrika,” ungkap Constanze.

Duta Besar Republik Federal Jerman untuk Indonesia, Ina Lepel, juga menekankan bahwa inovasi ilmiah memainkan peran penting dalam mengurangi jejak karbon dan mempromosikan gaya hidup ramah lingkungan.

“Inovasi dalam ilmu pengetahuan sangat diperlukan untuk mewujudkan masa depan yang berkelanjutan dan mengurangi dampak lingkungan, baik di Indonesia maupun di Jerman,” tambahnya.

Di Indonesia, festival ini menampilkan 15 film dari delapan negara, termasuk Jerman, Australia, Italia, Thailand, Chile, Brasil, Belanda, dan Kolombia. Selain itu, terdapat enam eksperimen sains yang akan dipraktikkan setelah penayangan film untuk menambah pemahaman peserta.

Pemutaran film dilakukan secara bergantian di sekolah-sekolah, universitas, pusat sains, dan komunitas, baik secara luring maupun daring melalui Zoom. Kota dan kabupaten yang terlibat dalam kegiatan ini antara lain Ambon, Bandung, Buol Toli-Toli, Deli Serdang, Ende, Fakfak, Karo, Poso, Pulau Buru, Surabaya, Waibakul, hingga Yogyakarta.

Pada pembukaan festival yang berlangsung di Plaza Insan Berprestasi Kemendikbudristek, lebih dari 250 siswa turut serta menyaksikan tiga film pilihan.

Tahun lalu, Science Film Festival telah menarik 860 ribu penonton dari 21 negara, termasuk lebih dari 122 ribu penonton di Indonesia. Edisi 2024 ini diselenggarakan di 23 negara sejak 1 Oktober hingga 20 Desember 2024.