Azerbaijan Hancurkan 158.000 Ranjau Darat yang Ditanam di Karabakh
JAKARTA - Azerbaijan telah menonaktifkan lebih dari 158.000 ranjau darat dan bahan peledak lain yang tidak meledak yang ditanam separatis Armenia selama tiga dekade pendudukan mereka di Karabakh, menurut angka resmi.
Kedua bekas republik Soviet tersebut telah menyaksikan perang dan ketegangan selama puluhan tahun atas Karabakh, wilayah pegunungan yang diakui secara internasional sebagai bagian dari Azerbaijan, yang direbut secara ilegal oleh separatis etnis Armenia lebih dari tiga dekade lalu.
Badan Pembersihan Ranjau Azerbaijan (ANAMA), bekerja sama dengan angkatan bersenjata Azerbaijan, telah melakukan operasi menggunakan peralatan canggih untuk menemukan dan menjinakkan bahan peledak yang membahayakan nyawa orang-orang tak berdosa serta unit-unit tentara yang ditempatkan di Karabakh yang telah dibebaskan dan wilayah sekitarnya.
Sejak berakhirnya Perang Karabakh Kedua pada November 2020, otoritas Azerbaijan telah memindai dan membersihkan ranjau di 162.000 hektar lahan di wilayah tersebut, dikutip dari Daily Sabah 4 Oktober.
Jumlah yang dibersihkan terdiri dari 104.000 amunisi yang tidak meledak, lebih dari 33.000 ranjau antipersonel dan lebih dari 20.000 ranjau antitank.
Ranjau darat di Karabakh diketahui telah menewaskan 70 warga negara Azerbaijan dan melukai 309 orang sejak berakhirnya perang.
Penanaman ranjau darat merupakan pelanggaran serius terhadap norma dan prinsip dasar hukum humaniter internasional, termasuk Konvensi Jenewa 1949.
Armenia menanam ratusan ribu ranjau darat yang melanggar konvensi internasional untuk mempertahankan wilayah yang diduduki.
Pembersihan total ranjau yang telah ditanam oleh Armenia di wilayah Azerbaijan yang diduduki akan memakan waktu hampir 30 tahun dan menghabiskan biaya 25 miliar dolar AS, menurut Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev.
Setelah serangkaian negosiasi yang berjalan lambat, Azerbaijan mengerahkan pasukan pada September tahun lalu dan dengan cepat merebut kembali Karabakh, yang seluruh penduduknya yang berjumlah hampir 120.000 orang kembali ke Armenia setelah menolak program reintegrasi yang ditawarkan Baku.
Baku dan Yerevan saat ini tengah berupaya untuk menandatangani perjanjian damai, yang menurut mereka telah 80 persen selesai, termasuk penetapan batas wilayah, untuk mengakhiri pertikaian selama puluhan tahun atas daerah kantong tersebut, meski masih ada beberapa hambatan dalam negosiasi, yaitu rute transportasi dan klaim konstitusional.
Bulan lalu, Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan mengatakan, Yerevan siap memenuhi permintaan utama Baku untuk mengizinkan akses transportasi melintasi tanah Armenia ke daerah kantong Nakhchivan, yang memungkinkan Azerbaijan menghubungkan wilayah utamanya dengan Turki.
Baca juga:
- Dianugerahi Tanda Kehormatan Samkarya Nugraha dari Presiden RI, Dangrup-1 Kopassus: Inspirasi dan Motivasi Prajurit
- Korea Selatan Pamerkan Rudal Penghancur Bunker Baru, Sasar Target di Gua dan Terowongan
- Labu Seberat 434 Kilogram dari Chiba Menangi Kejuaraan di Jepang
- Cegah Terulangnya Ledakan Bom Sisa Perang Dunia, Jepang Lakukan Pencarian di Bandara Miyazaki
"Republik Armenia siap untuk sepenuhnya memastikan keselamatan lalu lintas kendaraan kargo dan orang-orang di wilayahnya. Itu adalah keinginan kami, komitmen kami, dan kami dapat melakukannya," kata PM Pashinyan dalam sambutannya yang dapat mengakhiri konflik selama puluhan tahun.
Namun, Baku bersikeras mencapai kesepakatan damai dengan Armenia tidak mungkin dilakukan sampai Armenia menghapus dari Konstitusinya referensi bermasalah terhadap deklarasi kemerdekaan negara itu dari Uni Soviet tahun 1991, yang menyatakan penyatuan Armenia dengan Karabakh sebagai tujuan nasional.
PM Pashinyan mengatakan, Armenia memiliki masalah tersendiri dengan Konstitusi Azerbaijan, tetapi tidak melihat adanya hambatan karena perjanjian damai "menyelesaikan masalah."