Airlangga Buka Suara Terkait Kenaikan UMP 2025

JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto buka suara terkait penetapan upah minimum provinsi (UMP) 2025 untuk menunggu di bulan November setelah hasil laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS).

"Kalau UMP kan siklusnya di November nanti. Jadi, kita tunggu saja hasil daripada report (laporan) Badan Pusat Statistik (BPS) dulu," ujarnya usai Temu Alumni Prakerja di Gedung Ali Wardhana, Kemenko Perekonomian, Kamis, 3 Oktober.

Meski demikian, Airlangga tak menjawab terklait peluang revisi PP Pengupahan.

Sebelumnya, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) meminta pemerintah untuk menaikkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) maupun Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 8 hingga 10 persen pada tahun 2025.

Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan, inflasi dalam dua tahun terakhir berada pada kisaran 2,5 persen. Sementara pertumbuhan ekonomi mencapai 5,2 persen.

Jika digabungkan, sambung Iqbal, totalnya sekitar 7,7 persen yang kemudian dibulatkan menjadi 8 hingga 10 persen.

“Kenaikan upah minimum yang diusulkan adalah sebesar 8 persen. Namun, KSPI mengusulkan penambahan 2 persen sehingga kenaikannya menjadi 10 persen untuk daerah-daerah yang memiliki disparitas upah tinggi antara kabupaten/kota yang berdekatan,” katanya dalam keterangan resmi, Jumat, 27 September.

Iqbal berharap kenaikan UMK maupun UMP dapat mengurangi kesenjangan upah di wilayah-wilayah tersebut.

Selama lima tahun terakhir, sambung Iqbal, terutama pada tahun pertama, upah minimum tidak mengalami kenaikan di seluruh Indonesia, yang berdampak pada penurunan daya beli buruh. Dalam dua tahun terakhir, kenaikan upah minimum berada di bawah angka inflasi.

“Sebagai contoh di wilayah Jabodetabek, inflasi mencapai 2,8 persen, namun kenaikan upah hanya 1,58 persen. Ini artinya buruh nombok setiap bulan,” ujar Said Iqbal.

Iqbal mengatakan permintaan kenaikan upah minimum tahun 2025 tersebut tidak menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2024. Sejak awal, PP 51/2023 ditolak oleh seluruh serikat buruh, termasuk KSPI dan Partai Buruh.

Dasar hukum dari PP Nomor 51 tersebut adalah Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja yang saat ini sedang digugat melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) oleh KSPI, KSPSI, AGN, dan Partai Buruh.

Sampai saat ini, belum ada keputusan dari MK, sehingga pemerintah seharusnya tidak menggunakan PP Nomor 51 Tahun 2023 dalam perhitungan upah minimum tahun 2025.

Di sisi lain, Iqbal mengatakan kenaikan upah minimum tahun 2025 sebesar 8 hingga 10 persen tersebut hanya akan meningkatkan daya beli buruh sekitar 5 persen. Padahal, dalam 10 tahun terakhir, daya beli buruh turun sebesar 30 persen.

“Dengan demikian, meskipun upah minimum tahun 2025 naik sebesar 8 hingga 10 persen, daya beli buruh tetap akan turun sekitar 25 persen. Buruh masih akan merasakan beban karena kenaikan upah tersebut telah termakan oleh kenaikan indeks harga konsumen,” jelasnya.