Review Album Jalaran Sadrah Barasuara: Merintih, Meratap dan Belajar Menjadi Manusia

JAKARTA - Menjaga api kreativitas tetap menyala, Barasuara melepas album Jalaran Sadrah sebagai koleksi ketiga setelah Taifun (2015) dan Pikiran dan Perjalanan (2019). Agak luput dari siklus rilis album setiap empat tahun, tak mengurangi magisnya karya enam musisi 'berdimensi' ini.

Jalaran Sadrah, secara harfiah berarti karena pasrah. Dua kata itu cukup bisa menggambarkan keseluruhan isi album yang penuh dinamika dari sisi aransemen, hingga rintihan dan ratapan yang terasa memilukan di setiap liriknya. Nanti akan terjawab.

Santapan pembuka di album ini adalah Antea, tembang yang sekilas terasa membawa optimisme. Tapi jangan tertipu dulu, liriknya pedas mengkritisi manusia yang kadang lupa akan ajalnya. Manusia kerap jumawa merasa punya segalanya.

Dari sisi penulisan lirik, Iga Massardi masih jadi salah satu yang terbaik. Di satu titik ia dengan lugas mengkritik, tapi di titik lain umpatan itu dibawa lagi dari sudut pandang yang jauh, seolah tak ingin menuding terlalu spesifik. Dan tentu saja, bait-bait bahasa yang kerap mengundang tanya juga hadir di album ketiga Barasuara ini.

Pengaruh Cholil Mahmud dan beberapa lirikus lain membuat Iga makin piawai memainkan kata. Sebagian besar lagu diwarnai sentuhan modulasi-modulasi manis, membuat yang rumit terasa makin magis. Terutama di single Merayakan Fana, di mana Barasuara membebasliarkan aransemen, dibantu oleh Erwin Gutawa dengan orkestrasi menggugah emosi.

Wajar jika lagu itu dipilih sebagai salah satu single andalan. Balutan orkestra dan rock bercampur dengan mulus dan terasa begitu memainkan emosi. Menikmati video musik dan lagunya seperti diajak masuk ke cerita film yang lengkap dari pembuka hingga penutup, dengan berbagi kejutan menarik di antaranya.

Trek Habis Gelap juga tak kalah unik, dengan komposisi yang terasa agak berbeda dari yang lain. Di lagu ini juga Barasuara mengingatkan kekuatan tiga vokalis dengan karakter uniknya masing-masing.

Mendengar trek demi trek, rasanya seperti tertampar kenyataan pahit. Kita hanya bisa pasrah menghadapi berbagai kecurangan, ketidakadilan hingga nanti menuju keabadian. Untungnya, Barasuara memberi penawar dengan Biyang, lagu ajaib yang melibatkan Sujiwo Tejo yang nembang dengan Bahasa Jawa.

Pada akhirnya, terlepas hal seburuk apapun yang terjadi, tak seharusnya kita lupa menjadi manusia. Mendengar Jalaran Sadrah, jadi renungan untuk introspeksi diri.