Jika Trump Menang Pilpres AS, Ini Risiko yang Bakal Dihadapi Perekonomian RI
JAKARTA - Perekonomian Indonesia diprediksi bakal diterjang berbagai risiko apabila kandidat Calon Presiden Partai Republik AS Donald Trump memenangi konstetasi Pemilihan Umum (Pemilu) AS tahun 2024 ini.
Menurut Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro, arah kebijakan Donald Trump yang menitikberatkan pada 'American First Policy', bakal kembali mengetatkan kebijakan perdagangan serta memperpanjang perang dagang (trade war) dengan China. Hal tersebut dikhawatirkan menekan perekonomian global hingga berdampak pada Indonesia.
"Pertama proteksionisme, ada probability akan dilakukannya lagi, kemudian trade war yang semakin keras dibandingkan dengan periode Joe Biden," kata Andy mengutip Antara.
Selain perang dagang, Andry juga menyoroti potensi perlambatan kebijakan transisi energi di bawah kepemimpinan Trump.
Menurutnya, kebijakan terkait perubahan iklim akan mendapatkan lebih sedikit dukungan, yang dapat memperlambat upaya transisi energi global.
Hal itu menjadi kekhawatiran besar bagi Indonesia yang sedang giat mempercepat transisi energi dengan bantuan internasional.
"Ini juga yang sekarang dipertanyakan juga oleh penggiat energy transition, apakah kemudian akan slowing down atau dengan pace yang sama. Kemungkinan besar kalau terpilih pace-nya akan relatif lebih lambat," ujarnya.
Risiko lain yang kemungkinan dialami tanah air yaitu penurunan investasi asing langsung (FDI) dari AS. Hal ini tercermin saat pemerintahan Donald Trump (2017-2020), FDI AS yang masuk ke Indonesia turun hampir 50 persen.
Lebih lanjut, Andry menyoroti risiko perang dagang yang lebih keras antara AS dan China, dua mitra dagang terbesar Indonesia, yang bakal berdampak langsung pada perekonomian Indonesia.
Seperti diketahui, AS dan China telah menjadi tujuan ekspor utama Indonesia di mana masing-masing menyumbang 22,8 persen dan 9,8 persen dari total ekspor tahun 2024. Ia menilai penurunan permintaan dari kedua negara tersebut akan memukul ekspor Indonesia.
Berdasarkan kalkulasinya, setiap penurunan 1 persen pada Produk Domestik Bruto (PDB) China akan menyebabkan penurunan 0,37 persen pada PDB Indonesia, sementara penurunan 1 persen pada PDB AS akan mengurangi PDB Indonesia sebesar 0,33 persen.
Baca juga:
- Presiden Putin Ingatkan Barat, Rusia akan Gunakan Senjata Nuklir Jika Diserang dengan Rudal Konvensional
- Laporan Pelanggaran Pemilu Tak Ditindaklanjuti Akibat Kerap Beda Pendapat, Sentra Gakkumdu Coba Samakan Persepsi
- Presiden Iran: Penting Bagi Masyarakat Internasional Amankan Gencatan Senjata di Gaza, Akhiri Kebiadaban Israel
Selain itu, perang dagang juga diprediksi menekan harga minyak kelapa sawit (CPO) sebagai salah satu komoditas ekspor utama Indonesia. Kelebihan pasokan kedelai dari AS, yang merupakan substitusi CPO, dikhawatirkan mengganggu harga pasar global.
"Kemudian (kebijakan) more support on the wealthy ya. Ini ada kata enlargement dari budget deficit yang berpengaruh kepada angka inflasi AS, makanya ketika (Donald Trump) terpilih, banyak yang bertanya kemudian apakah pace dari rate cut (suku bunga) itu kemudian akan secepat yang diperkirakan sebelumnya, tentu saja ini resiko-resiko yang kita perlu mitigasi," paparnya.
Adapun berdasarkan survei Financial Times dan Ross School of Business dari Universitas Michigan yang dirilis pada Minggu (15/9), Wakil Presiden Amerika Serikat sekaligus kandidat presiden dari Partai Demokrat Kamala Harris, unggul atas rivalnya dari Partai Republik, Donald Trump, dalam hal manajemen ekonomi.
Survei tersebut mendapati kesimpulan bahwa 44 persen responden lebih mempercayai Harris dalam menangani perekonomian, sementara 42 persen mendukung Trump.