Mantan Menag Sebut Budaya dan Agama sebagai Dua Hal Tak Terpisahkan
JAKARTA - Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan keberagaman, termasuk dalam aspek agama dan budaya. Hal tersebut disorot oleh Lukman Hakim Saifuddin, mantan Menteri Agama RI yang mengatakan dua hal ini punya keterkaitan dan tak seharusnya dipermasalahkan.
"Agama itu nilai yang datang dari Tuhan. Nilai ini ketika membumi, membutuhkan wadah tempat nilai bisa teraktualisasikan. Jika tidak ada tempat, nilai hanya akan melayang-layang. Wadah itu adalah budaya," ujar Lukman Hakim dilansir dari ANTARA, Minggu, 18 Agustus.
Pernyataan Lukman tersebut disampaikan saat menjadi narasumber dalam diskusi relasi agama dan budaya yang diinisiasi Majelis Hukama Muslimin (MHM) di Islamic Book Fair 2024.
Menurutnya, Indonesia bisa bertahan dan banyak diapresiasi warga dunia, salah satunya karena agama dan budaya. Keduanya membuat Indonesia bertahan dari dulu sampai sekarang dan menjadi modal menjalani kehidupan di masa depan.
"Maka agama, ajaran, nilai kebajikan dengan budaya adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, meski bisa dibedakan. Tanpa budaya, agama tidak bisa mengejawantah. Budaya memerlukan nilai. Sebab budaya adalah cara manusia merespons masalah yang dihadapi. Cara itu lalu menjadi kebiasaan, tradisi, adat istiadat, lalu membudaya," kata dia.
Lukman Hakim menjelaskan ada dua jenis ajaran agama yakni universal (inti, pokok ushuli) dan partikular (cabang, furuiyah).
Ajaran universal diyakini kebenarannya seluruh manusia tanpa kecuali, apapun suku, negara, dan agamanya, bahkan oleh orang yang tidak beragama. Misalnya kemanusiaan, keadilan, persamaan di depan hukum, kemaslahatan, dan lainnya.
"Persamaan di depan hukum adalah nilai universal agama. Maka praktik diskriminatif selalu tertolak oleh agama. Kemaslahatan inti pokok ajaran agama, maka prakrik merusak selalu tertolak oleh ajaran agama," ujar dia.
Terkait ajaran agama yang partikular, LHS menekankan bahwa jangankan oleh semua manusia, bahkan oleh sesama penganut agama yang sama juga bisa berbeda-beda. Sesama Muslim bisa berbeda dalam memahami Shalat Subuh itu pakai qunut atau tidak. Demikian juga dengan masalah ziarah kubur dan lainnya.
"Kontribusi agama penting sekali bagi budaya. Tanpa budaya, agama tidak bisa membumi. Budaya pasti beragam karena itu respons manusia dalam mengejawantahkan ajaran agama," kata dia.
"Sebesar apapun beda budaya, jangan ingkari yang inti. Sebab, ajaran inti agama tidak boleh diingkari atas alasan apapun juga," ujarnya menambahkan.
Baca juga:
- Menag Lukman Hakim Saifuddin Tegaskan ISIS Bertentangan dengan Pancasila dalam Memori Hari Ini, 1 Agustus 2014
- Bawaslu DKI Buka Posko Pengaduan Pencatutan NIK di Pilkada Jakarta
- Semarak HUT ke-79 RI di Sydney, Wali Kota Randwick Terpukau dengan Keramahan Masyarakat Indonesia
- Usai Bebas Bersyarat, Ottto Hasibuan Bilang Jessica Wongso Ingin Makan Siang Sushi
Sementara itu, Guru Besar Filologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Oman Fathurahman menjelaskan peran agama mempromosikan keragaman budaya dan peran budaya mempromosikan agama.
Menurut Prof. Oman mengatakan keragaman budaya adalah ciri Indonesia dan Asia Tenggara. Agama punya peran dalam mempromosikannya.
Pengampu Ngaji Manuskrip Nusantara (Ngariksa) ini mencontohkan Sarung Batik yang kemudian menjadi ciri Muslim Indonesia, meski tidak dipakai dan dikenal di Arab.
"Sarung Batik sebagai budaya dikenal di luar Indonesia sebagai salah satu ciri Muslim Indonesia karena dipromosikan. Agama mempromosikan keragaman budaya," kata Oman.
"Atas nama mempraktekkan ajaran agama, kita jadi tahu budaya pakaian gamis dan mukena untuk menutup aurat, dan lainnya," kata dia menambahkan.*
(ANTARA/HO-Majelis Hukama)