Industri Petrokimia Usulkan Perlu Adanya Keterbukaan antara Sektor Hulu dan Hilir untuk Tingkatkan Nilai Investasi
JAKARTA - Asosiasi Industri Olefin Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) mengatakan perlu adanya keterbukaan antara sektor hulu dan hilir industri petrokimia guna meningkatkan nilai investasi sektor itu bagi pemajuan ekonomi nasional.
"Kita berharap antara hulu dan hilir terjadi saling keterbukaan dan memberikan kepastian kira-kira mapping kebutuhan dan pertumbuhan dalam negeri itu seberapa besar, sehingga kita bisa memprediksikan kapan kita mulai investasi, dan seberapa besar investasi itu bisa ditanamkan dan kembali berapa lama," kata Sekretaris Jenderal Inaplas Fajar Budiono dalam keterangannya di Jakarta, dikutip dari Antara, Jumat 2 Agustus.
Hal itu menurut dia perlu dilakukan, mengingat utilitas sektor petrokimia hulu kini sudah di bawah 80 persen karena masifnya produk impor.
Ia berargumen, selain kolaborasi sektor hulu dan hilir petrokimia, pihaknya juga meminta pemerintah untuk kembali menerapkan pengetatan impor yang dinilai bisa mengatur ketersediaan (supply) dan permintaan (demand) sektor petrokimia secara ideal di pasar domestik.
"Jadi kalau kita kembali ke Permendag 36/2023 semangatnya adalah memenuhi kebutuhan industri dalam negeri dengan prioritas material lokal dulu. Selebihnya nanti bila ada kekurangan, baru dipenuhi oleh produk impor," katanya.
Baca juga:
Selain itu, untuk lebih memacu utilitas dan investasi di sektor ini, pihaknya juga ingin adanya penerapan kebijakan trade remedies atau hambatan perdagangan berupa Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atau Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP). Alasannya, itu karena impor barang jadi plastik dalam beberapa bulan terakhir masih cukup tinggi.
Sebelumnya, Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat pada Januari-Juni (semester I) 2024, realisasi investasi bidang hilirisasi mencapai Rp181,4 triliun. Dalam realisasi tersebut sektor petrokimia menempati urutan nomor empat terbesar dengan nilai penanaman modal mencapai Rp13,2 triliun.