Ismail Haniyeh Tewas, Masa Depan Timur Tengah Kian Tidak Jelas
JAKARTA – Ketika sebuah serangan rudal udara misterius menghantam rumah tempat Ismail Haniyeh tinggal di Teheran, Iran pada 30 Juli 2024, orang-orang menganggap pemimpin Hamas itu selamat. Namun fakta berkata lain, Haniyeh tewas.
Sesuatu yang sangat tidak disangka-sangka. Bayangkan, Haniyeh datang ke Teheran dalam kapasitas sebagai tamu negara karena menghadiri pelantikan Presiden Iran yang baru, Masoud Pezeshkian. Dia juga dikabarkan dikawal sangat ketat, demi memastikan keamanannya.
Flash back sejenak, Iran sebenarnya belum pulih benar dari keterkejutan setelah kecelakaan helikopter kepresidenan yang terjadi di Provinsi Azerbaijan Timur, Iran bagian utara pada 19 Mei lalu. Kecelakaan tersebut menewaskan Ebrahim Raisi, Presiden Iran pendahulu Pezeskhian.
Peristiwa tersebut memunculkan pertanyaan soal keamanan wilayah udara Iran. Yang jelas pasca serangan yang menewaskan Haniyeh, Hamas langsung menuding Israel sebagai pelakunya. Iran berlagak bego, tidak mau mengakui bahwa mereka alpa menjaga Haniyeh. Iran justru ikut-ikutan menuding Israel sebagai penyebab kematian Haniyeh.
“Ini adalah sebuah tindakan teroris dan kriminal dari rezim Zionis. Mereka sedang membangun dasar untuk melegalkan sebuah hukuman untuk mereka sendiri. Ini adalah tugas kami untuk membalas dendam atas darah Ismail Haniyeh, yang tertumpah sebagai martir di wilayah Republik Islam Iran,” kata Ayatollah Ali Khamenei, Pemimpin Tertinggi Iran dalam seruan resmi yang disebarkan ke seluruh dunia.
Israel sendiri belum membuat pengakuan terbuka dan resmi bahwa serangan udara yang menewaskan Haniyeh adalah aksi mereka. Namun PM Benjamin Netanyahu dalam pidato di Tel Aviv mengatakan bahwa kematian Haniyeh adalah pukulan telak bagi Iran dan Hamas.
“Hari-hari yang penuh tantangan akan segera tiba. Namun kami akan selalu siap menghadapi segala skenario. Siapa pun yang mencoba-coba melakukan agresi terhadap Israel, akan menanggung akibatnya,” kata Netanyahu, dikutip The Times of Israel.
Potensi Konflik Besar
Beberapa jam sebelum serangan yang menewaskan Haniyeh, Israel Defense Forces (IDF) membunuh Fuad Shukr, salah satu pimpinan militer tertinggi Hizbullah dalam pertempuran di Beirut, Lebanon. Hamas dan Hizbullah memang dua organisasi yang sangat anti-Israel.
Seruan balas dendam dari Ali Khamenei menjadi penanda bahwa perang besar bakal terjadi. Poros-poros perlawanan terhadap Israel, seperti Hamas, Hizbullah, milisi Syiah di Irak, dan Houthi di Yaman diprediksi bakal meningkatkan eskalasi serangan terhadap Negeri Yahudi itu.
Hanya dalam semalam, kematian Haniyeh dan Shukr, dua petinggi kelompok militan yang didukung Iran, dapat menyulut konflik yang lebih besar di Timur Tengah.
Pada 7 Oktober 2023 dunia dikejutkan oleh serangan Hamas terhadap segerombolan anak muda Israel yang sedang berpesta pora di Israel bagian selatan, dekat perbatasan dengan Gaza yang dikuasai Palestina. Serangan tersebut menewaskan ratusan penduduk sipil, dan menyeret 250 warga Israel sebagai sandera di Gaza.
Sejak itu Israel bertekad menghabisi setiap pejabat senior Hamas, dan siapa pun yang berkaitan dengan mereka.
“Biarlah setiap ibu-ibu Arab tahu, bahwa jika putranya ikut serta dalam pembantaian 7 Oktober, berarti dia sudah menandatangani surat kematiannya sendiri,” kata David Barnea, kepala agen mata-mata Israel, Mossad.
Ancaman tersebut dinyatakan. Mulai pada Januari dengan kematian salah seorang petinggi Hamas, Saleh Al-Arouri di Lebanon. Kemudian April, serbuan jet Israel menghancurkan konsulat Iran di Damaskus, Suriah dan menewaskan salah seorang komandan militer senior Negeri Persia.
Soal Gencatan Senjata
Kematian Haniyeh dan Shukr menjadi sebuah pukulan telak bagi musuh-musuh Israel. Tak terkecuali untuk Iran, yang jelas merasa terhina dan dilecehkan karena dianggap tak mampu melindungi tamu penting yang menginap di perumahan militer. Di tengah ibu kota Teheran pula!
“Apa yang terjadi terhadap Haniyeh di Teheran adalah sebuah pukulan telak terhadap aparat keamanan Iran. Itulah sebabnya, Iran merasa harus segera merespon masalah ini,” kata Abas Aslani, peneliti Pusat Studi Strategis Timur Tengah di Teheran, seperti dikutip Al Jazeera.
Pembunuhan Haniyeh jelas bakal mempersulit kesepakatan gencatan senjata antara Hamas dan Israel. Haniyeh adalah tokoh kunci dalam upaya gencatan senjata dengan Israel. Dia salah seorang yang bersuara paling keras mendukung gencatan senjata. Haniyeh digambarkan sebagai sosok yang pragmatis dan punya relasi baik dengan tokoh-tokoh regional.
Baca juga:
- Kedatangan Para Influencer ke IKN Hanya demi Mempertebal Bualan Informasi
- Golden Visa Dapat Konotasi Negatif di Luar Negeri, Yakin Mampu Datangkan Investasi?
- Kepincut Tambang, Muhammadiyah Tak Lagi Menyinari Hati Masyarakat
- Keterwakilan Perempuan di Tim Pengungsi Olimpiade Paris 2024 Hanya Simbolis, Tak Cerminkan Kesetaraan Gender
Upaya gencatan senjata dan perdamaian Hamas-Israel bahkan sudah dibahas hingga ke Negeri China. Bulan lalu China memfasilitasi pertemuan 14 faksi politik Palestina di Beijing untuk bersatu, mencapai kesatuan pikir, serta kesepakatan soal perdamaian di negerinya.
Negara-negara Teluk yang menjadi sekutu Amerika Serikat juga sudah berupaya menjadi perantara, demi upaya mengakhiri pertemuran di Gaza yang sudah berbulan-bulan membara.
“Bagaimana mungkin mediasi dan perdamaian bakal terjadi, jika masing-masing pihak saling bunuh?” tulis PM Qatar, Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim Al Thani dalam akun medsosnya.
Ada analisis yang mengatakan bahwa pembunuhan Haniyeh adalah upaya menyingkirkan Hamas dari upaya gerakan persatuan Palestina. Haniyeh memang pernah berpendapat bahwa Israel memang sengaja menghindari gencatan senjata, dan tidak ingin mengakhiri perang.
Kematian Ismail Haniyeh mungkin tidak akan menghentikan sepak terjang Hamas. Namun di sisi lain, prospek gencatan senjata juga tampak semakin kecil. Kemungkinan perang regional di Timur Tengah bakal berkobar malah semakin nyata.