Di Perbatasan Lebanon, Permainan Kesabaran Mematikan Saling Intai Israel-Hizbullah

JAKARTA - Di desa-desa dan daerah terpencil di dekat perbatasan selatan Lebanon, pasukan Israel dan pejuang Hizbullah saling mengawasi selama berbulan-bulan, berubah dan beradaptasi dalam pertempuran. Mereka saling menunggu untuk melihat apakah perang skala penuh akan terjadi.

Sejak dimulainya perang Gaza pada Oktober 2023, kedua belah pihak saling melancarkan serangan roket, artileri, tembakan rudal, dan serangan udara setiap hari dalam kebuntuan yang baru saja menghentikan perang skala penuh.

Puluhan ribu orang telah dievakuasi dari kedua sisi perbatasan, dan harapan anak-anak dapat kembali pada awal tahun ajaran baru pada September tampaknya pupus menyusul pengumuman Menteri Pendidikan Israel Yoav Kisch pada Selasa, kondisi tersebut tidak memungkinkan.

“Perang hampir sama selama sembilan bulan terakhir,” Letnan Kolonel Dotan, seorang perwira Israel, yang hanya dapat diidentifikasi dengan nama depannya dilansir Reuters, Rabu, 24 Juli

“Kami mengalami hari-hari baik dalam menyerang Hizbullah dan hari-hari buruk ketika mereka menyerang kami. Hampir sama, sepanjang tahun, sepanjang sembilan bulan,” imbuhnya.

Saat musim panas mendekati puncaknya, jejak asap drone dan roket di langit telah menjadi pemandangan sehari-hari, dan rudal secara teratur memicu kebakaran hutan di perbukitan berhutan lebat di sepanjang perbatasan.

Serangan Israel menewaskan hampir 350 pejuang Hizbullah di Lebanon dan lebih dari 100 warga sipil, termasuk petugas medis, anak-anak dan jurnalis, sementara 10 warga sipil Israel, seorang pekerja pertanian asing dan 20 tentara Israel tewas.

Meski begitu, ketika penembakan lintas batas terus berlanjut, pasukan Israel telah berlatih untuk kemungkinan serangan di Lebanon yang secara dramatis akan meningkatkan risiko perang regional yang lebih luas, yang kemungkinan melibatkan Iran dan Amerika Serikat.

Risiko tersebut semakin terlihat pada akhir pekan ketika kelompok Houthi yang berbasis di Yaman, milisi yang sama seperti Hizbullah dan didukung oleh Iran, mengirim drone ke Tel Aviv yang menyebabkan ledakan yang menewaskan seorang pria dan mendorong Israel untuk melancarkan serangan balasan pada hari berikutnya.

Berdiri di kibbutz rumahnya di Eilon, di mana hanya tersisa sekitar 150 petani dan penjaga keamanan dari populasi normal 1.100 orang, Letkol Dotan mengatakan kedua belah pihak telah saling menguji selama berbulan-bulan, dalam pertempuran taktis yang terus berkembang.

“Perang ini mengajarkan kami kesabaran,” kata Dotan.

“Di Timur Tengah, Anda perlu kesabaran,” tutur dia.

Dotan mengatakan pasukan Israel melihat peningkatan penggunaan drone Iran, jenis yang sering terlihat di Ukraina, serta rudal anti-tank Kornet buatan Rusia yang semakin banyak menargetkan rumah-rumah ketika pasukan tank Israel menyesuaikan taktik mereka sendiri sebagai tanggapannya.

“Hizbullah adalah organisasi yang belajar dengan cepat dan mereka memahami bahwa UAV (kendaraan udara tak berawak) adalah hal besar berikutnya sehingga mereka membeli dan mendapatkan pelatihan tentang UAV,” sambung Dotan.

Israel menanggapinya dengan mengadaptasi sistem pertahanan udara Iron Dome dan memfokuskan operasinya untuk melemahkan struktur organisasi Hizbullah dengan menyerang komandannya yang berpengalaman, seperti Ali Jaafar Maatuk, seorang komandan lapangan di unit pasukan elit Radwan yang terbunuh pekan lalu.

“Jadi itu satu lagi titik lemah yang kami temukan. Kami menyasar mereka dan mencarinya setiap hari,” katanya.

Meski begitu, seiring berjalannya waktu, penantian pasukan Israel tidaklah mudah dengan doktrin manuver dan operasi ofensif yang cepat.

“Saat Anda bertahan, Anda tidak bisa mengalahkan musuh. Kami memahami hal itu, kami tidak punya ekspektasi,” ujar Dotan.

“Jadi kami harus menunggu. Ini adalah permainan kesabaran,” kata dia.