Pansus Angket Haji DPR Bisa Buka Indikasi Korupsi Jual-Beli Kursi untuk Haji Plus

JAKARTA - Pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Penyelenggaraan Ibadah Haji 2024 oleh DPR RI bisa mengungkap dugaan pelanggaran terhadap undang-undang. Bisa juga menjadi pintu masuk untuk mengungkap adanya indikasi korupsi jual beli kuota dari haji reguler ke haji plus.

“Pembentukan Pansus Hak Angket Haji DPR ini perlu diapresiasi karena desakan sekelompok masyarakat yang ingin adanya perubahan dalam penyelenggaraan haji bisa diakomodir,” kata Pengamat Kebijakan Haji dan Umrah, Ade Marfuddin, Kamis 11 Juli.

Menurut Ade, Pansus Angket Haji DPR bisa menjadi pintu masuk bagi masyarakat yang berharap adanya perbaikan penyelenggaraan ibadah Haji.

“Ini kan menjadi pintu masuk yang positif dan baik karena pintunya tidak bisa lewat demo, tidak bisa lewat massa. Tapi harus menjadi jalur-jalur yang sifatnya politis, nah sifat politis itu adanya di DPR maka lewat Pansus ini menjadi langkah tepat untuk melakukan sebuah reformasi perbaikan,” paparnya.

Ade mengatakan, dugaan pelanggaran Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah terkait pengalihan kuota haji memang sudah seharusnya diusut oleh DPR. Sebab Kementerian Agama (Kemenag) sebagai penyelenggara ibadah haji telah menyalahi aturan.

“Itu pelanggaran berat karena undang-undang dilanggar. DPR wajar tersinggung sebagai yang buat UU. DPR memang harus marah karena eksekutif melanggar apa yang dibuat ketentuan bersama DPR,” ucap Ade.

Untuk diketahui, Pansus Angket Haji DPR dibuat salah satunya karena adanya dugaan pelanggaran UU dalam hal kuota haji. Sesuai aturan, pengalihan kuota haji dari reguler ke haji plus seharusnya maksimal hanya 8% dari total kuota. Namun pada penyelenggaraan ibadah haji 2024 ini, penambahan dilakukakan oleh Kemenag sebanyak 50% dari total kuota haji Indonesia.

“Harus dicari kenapa perubahan dari 8% menjadi 50%, apa alasannya? Apa pertimbangannya? Saya melihat justru seperti ada perampokan, perampokan hak haji reguler oleh haji khusus melalui kebijakan sepihak oleh Pemerintah. Ini pelanggaran berat,” tukas Ade.

Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu menyebut, pelanggaran yang dilakukan Kemenag bukan hanya terhadap UU Nomor 8 Tahun 2019, tapi juga aturan turunannya. Ade menilai, pengalihan kuota haji tersebut juga melanggar Keputusan Presiden (Keppres) No 6 tahun 2024 tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji 1445 H/2024 M.

“Presiden juga dilanggar di situ karena tidak ada pembicaraan ulang atau perubahan Keppres untuk menampung jamaah haji yang 50 persen tadi,” sebutnya.

Lebih lanjut, Ade menyoroti adanya indikasi korupsi atas pelanggaran pengalihan kuota haji. Sebab ribuan kuota yang seharusnya diberikan untuk haji reguler malah dialihkan ke haji plus yang dikelola oleh Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) atau pihak biro perjalanan yang telah mendapat izin menteri untuk menyelenggarakan ibadah haji khusus.

“PIHK Ini kan bagian dari penyelenggaraan yang berduit. Artinya orang sanggup bayar berapapun yang penting ada kuota daripada antre panjang. Sekarang kalau ada kuota nganggur seperti ini, travel otomatis akan menawarkan siapa yang punya uang,” papar Ade.

“Siapa yang punya uang maka dia akan mencari celah itu, celah ini ada di kuota tambahan. Kuota tambahan kan nggak mungkin ujug-ujug ke satu-satu orang, tapi kepada travel. Jadi pasti ada sesuatu, indikasi ke sana ada,” imbuhnya.

Oleh karena itu, Pansus Angket Haji DPR dinilai bisa membuka indikasi kecurangan yang terjadi dari pengalihan kuota jemaah. Sebab Pansus Angket Haji DPR akan memanggil stakeholder yang terkait dengan penyelenggaraan Ibadah Haji.

“Temuan ini dilacak karena banyak travel yang menggunakan ini. Panggil saja, tanya berapa Anda bayar. Ini kan udah merampas, merampok kuota reguler, sekarang diperjualbelikan,” sebut Ade.

Ade lalu mencontohkan kasus mantan Menang Suryadharma Ali yang membawa rombongan pribadi melalui kuota reguler.

“Dulu kasusnya Suryadharma Ali hanya 35 orang dia membawa rombongan kuota reguler, itu diproses. Ini 8.400 orang lho, bayangin kuotanya dibagi secara tidak proporsional. Orang melanggar undang-undang masa nggak diproses,” ujarnya.

“Saya lihat ini ada indikasi korupsi, jual beli kursi. Pansus harus usut, jangan tanggung-tanggung. Ini pintu masuk yang sangat terbuka, penelusuran lebih jauh hingga bukti-bukti terbuka. Pansus harus sampai tuntas gimana alasannya seat 50% keluar secara semena-mena,” tambah Ade.

Pansus Angket Haji DPR pun dianggap menjadi harapan terhadap perbaikan penyelenggaraan ibadah haji. Tak hanya soal masalah kuota jemaah, tapi juga untuk masalah-masalah lainnya.

Ade mengatakan, Pansus Angket Haji DPR juga dapat mengevaluasi penyelenggaraan haji dari tahun ke yang dinilai selalu menyisakan masalah. Pansus DPR pun disebut dapat memitigasi apa saja persoalan penyelenggaraan ibadah haji, termasuk saat puncak haji di Arafah, Mina, Musdalifah yang setiap tahun pasti terkendala.

“Tragedi Mina tahun ini adalah catatan buruk haji kita. Ini kan harus dilihat apa ya sumber masalahnya, apa betul karena human error atau kebijakan yang salah,” tukas Ade.

Ade menyoroti kebijakan pemerintah yang tidak menempatkan jemaah haji Indonesia di Mina Jadid. Ia berpendapat keputusan pemerintah tak lagi menggunakan Mina Jadid membuat terjadinya penumpukan jemaah.

“Otomatis seluruh jamaah haji numpuk di Mina yang lama, ini berarti menambah masalah. Seharusnya bukan itu yang dilakukan karena kondisi Mina itu dari tahun ke tahun kan belum ada perubahan yang signifikan untuk menampung jamaah yang semakin banyak,” ujarnya.

“Belum lagi jemaah yang over stay, jemaah yang menggunakan visa yang berbeda, ini yang harusnya mitigasi yang kuat. Termasuk masih kurangnya fasilitas untuk jemaah, khususnya masalah pemondokan,” sambung Ade.