Industri Aromatik RI Sedang Berdarah-darah Imbas Banjir Impor Tekstil
JAKARTA - Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) menyebut, serbuan barang impor tekstil dan produk tekstil (TPT) bisa memicu efek domino.
Tak hanya menimbulkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga tutupnya pabrik-pabrik tekstil. Namun, memberikan tantangan di industri kimia nasional.
"Saat ini, industri tekstil di dalam negeri dalam situasi kebangkrutan total, mengingat pemerintah membuka seluas-luasnya impor TPT murah dengan kualitas cukup baik. Permendag No 8/2024 serta beberapa kemudahan lainnya memukul habis-habisan industri tekstil nasional," ujar Sekjen Inaplas Fajar Budiono di kantor Kemenperin, Jakarta, Senin, 8 Juli.
"Pemerintah harus memutuskan apakah akan tetap mendukung industri tekstil yang saat ini mempekerjakan 3,5 juta orang. Sebab, industri tekstil merupakan industri padat karya yang menyerap tenaga kerja paling besar di Indonesia," tambahnya.
Hal itu disampaikan Fajar karena industri TPT adalah salah satu sektor pengguna produk hasil industri kimia hulu, termasuk industri aromatik.
"Karena banjir barang-barang impor TPT, berdampak langsung juga terhadap turunnya produksi petrokimia di industri petrokimia hulu. Beberapa industri polyester telah menyatakan tutup dan lainnya dapat segera menyusul jika kondisi terus memburuk. Utilisasi industri polyester saat ini hanya 50 persen. Ini titik yang mana sulit untuk bisa mempertahankan operasional pabrik," tuturnya.
"Kami ingin kepentingan industri terlindungi. Saat ini, industri aromatik di dalam negeri sudah berdarah-darah," sambungnya.
Baca juga:
Kondisi tersebut, lanjutnya, diperburuk oleh sinyal penurunan permintaan di industri lainnya yang juga pengguna produk Petrokimia.
Salah satunya untuk penjualan mobil nasional yang sedang turun.
"Kalau di industri otomotif meskipun penjualan di Juni mulai naik, tapi produksi sudah mulai turun. Artinya, barang-barang di gudang itu juga sudah mulai menipis, sementara demandnya begitu-begitu saja," jelas Fajar.
"Kami perkirakan juga meskipun inflasi masih di bawah 3 persen, tapi daya belinya yang mesti kami lihat ada kekhawatiran sampai akhir tahun ini," imbuhnya.