Sri Mulyani Beberkan Konsolidasi Fiskal RI Tercepat Ketimbang Negara G20 dan ASEAN

JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan pemerintah berhasil melakukan konsolidasi fiskal pasca pandemi COVID-19 satu tahun lebih cepat dibandingkan negara-negara di G20 dan ASEAN.

"Konsolidasi fiskal dalam dua tahun lebih cepat satu tahun dari perkiraan awal termasuk tersingkat dibandingkan banyak negara baik di G20 maupun ASEAN telah menghasilkan defisit APBN turun dibawah 3 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2022," ujar dalam Penyampaian Pokok-Pokok Keterangan Pemerintah atas RUU tentang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2023 dalam Rapat Paripurna ke-20, Kamis, 4 Juli.

Sri Mulyani menyampaikan kondisi pandemi yang luar biasa membutuhkan kebijakan APBN yang juga luar biasa, dimana penerimaan negara yang menurun tajam akibat berhentinya kegiatan ekonomi dan masyarakat, mengharuskan APBN mendanai belanja yang melonjak tinggi untuk menangani pandemi COVID-19 serta memulihkan perekonomian.

Sri Mulyani menjelaskan, akibat pandemi COVID-19 defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sempat naik hingga 6,1 persen dari PDB jauh diatas batas maksimal yang diatur UU Keuangan Negara sebesar 3 persen PDB.

Menurut Sri Mulyani, kondisi genting akibat pandemi menyebabkan APBN bekerja luar biasa keras dalam periode 2020-2021 yang mampu memulihkan kembali ekonomi Indonesia dan sekaligus mampu mengembalikan kesehatan APBN.

"Perekonomian Indonesia kembali pulih dari kontraksi 2,07 persen di 2020 menjadi positif 3,7 persen di 2021 dan berlanjut tumbuh di 5,3 persen pada tahun 2022," tuturnya.

Sri Mulyani menjelaskan, sebagai instrumen kebijakan fiskal yang sangat penting yang berfungsi sebagai alat stabilisasi, distribusi, dan alokasi APBN selalu hadir dan diandalkan negara dalam menghadapi banyak guncangan dan ketidakpastian global dan domestik - seperti pandemi COVID-19 yang luar biasa berat dan dahsyat.

"Pemerintah dan DPR terus bekerjasama secara baik dalam merumuskan dan menentukan kebijakan fiskal (APBN) sehingga mampu merespons dan menjawab tantangan yang luar biasa tersebut," imbuhnya.

Sri Mulyani menjelaskan, pasca-meredanya pandemi COVID-19 tidak membuat perekonomian global serta merta menjadi pulih.

Tahun 2023 terjadi gejolak perekonomian global.

"APBN Tahun 2023 yang dirancang pada pertengahan tahun 2022 sangat diwarnai oleh perkembangan kondisi geopolitik global, khususnya perang Rusia – Ukraina," ujarnya.

Dia menyampaikan, gangguan rantai pasok global akibat perang telah menyebabkan volatilitas harga komoditas, tekanan inflasi yang berkepanjangan di banyak negara sehingga mendorong kenaikan suku bunga acuan global dan menimbulkan gejolak di pasar keuangan di sebagian besar negara berkembang.

Menurutnya, kondisi tersebut berimplikasi pada pelemahan pertumbuhan ekonomi di banyak negara pada tahun 2023, khususnya Amerika Serikat, Eropa dan Tiongkok.

"Berbagai analisis dan laporan lembaga internasional juga menunjukkan adanya tantangan berat yang akan dihadapi di tahun 2023, termasuk potensi krisis yang terjadi di sejumlah negara besar," ujarnya.