Eksklusif: Dirut BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti Bilang RS Sekarang Tak Bisa Bohong Soal Ketersediaan Kamar

Beberapa tahun yang lalu mungkin masih jamak terjadi kalau ketersediaan kamar masih menjadi rahasia rumah sakit. Sekarang dengan teknologi yang ada, kata Direktur Utama BPJS Kesehatan Prof. Dr. Ali Ghufron Mukti, MSc., PhD., AAK., rumah sakit tak bisa lagi berbohong soal ini. Kalau itu terjadi, bisa dilaporkan ke BPJS Kesehatan untuk diambil tindakan.

***

Era keterbukaan memang meminimalisir perilaku tak terpuji yang kerap terjadi dan menjadi hal yang lumrah karena pihak luar tak bisa memantau. Dalam konteks ketersediaan kamar rawat untuk pasien BPJS Kesehatan, adalah salah satu contohnya. Hanya orang yang punya akses ke orang dalam yang bisa menembus hal tersebut.

Tapi itu dulu. Kini, terang Ali Ghufron Mukti, berbagai perbaikan sudah dilakukan oleh BPJS Kesehatan. Salah satunya melalui aplikasi Mobile JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). Adanya Mobile JKN membuat semuanya transparan. “Kita tahu apa saja yang dilakukan rumah sakit dan dokter,” katanya sembari menambahkan bahwa rumah sakit tak bisa lagi berbohong dalam hal pelayanan dan ketersediaan kamar.

Kalau tidak, akan ada tindakan dari BPJS Kesehatan. “Ada yang namanya BOR (Bed Occupancy Rate), rumah sakit kita minta transparan soal ini. Ini masyarakat bisa cek. Jika dia bilang kamar penuh, tetapi kenyataannya ada kamar, rumah sakit itu bisa dilaporkan ke kantor BPJS terdekat atau lewat layanan hotline,” tegasnya.

Dalam penilaian Ghufron, literasi masyarakat Indonesia masih rendah. Tak heran kalau banyak fungsi dan manfaat dari BPJS Kesehatan belum banyak diketahui. Padahal kalau hal tersebut diketahui, banyak hal bisa dihemat. Seperti persoalan antre layanan, untuk mengetahui status kepesertaan, daftar rujukan, pindah faskes, skrining penyakit, dan sebagainya.

Satu lagi yang menjadi penegasan dari Ali Ghufron Mukti adalah soal kabar kalau akan ada perubahan layanan BPJS yang semula ada kelas 1, 2, dan 3 menjadi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). “Yang jelas sampai detik ini dan kemungkinan sampai 30 Juni 2025 semuanya masih tetap. Jadi tidak ada perubahan,” tegasnya kepada Edy Suherli, Bambang Eros, dan Irfan Medianto dari VOI yang menemuinya di Kantor BPJS Kesehatan Pusat, di bilangan Cempaka Putih, Jakarta, belum lama berselang. Inilah petikannya.

Satu harapan yang diserukan oleh Dirut BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti pada pemerintah baru, BPJS Kesehatan kini sudah jadi rujukan banyak negara, kalau ingin melakukan perubahan harus ke arah yang lebih baik. (Foto; Bambang Eros, DI; Raga Granada VOI)

Anggota BPJS Kesehatan sudah banyak, tetapi masih saja melakukan kerja sama dengan pihak lain seperti dengan Korlantas Polri, persyaratan pengurusan SIM/STNK harus aktif menjadi anggota BPJS. Kerja sama seperti ini berapa besar pengaruhnya pada penambahan peserta BPJS?

Untuk penambahan tidak terlalu banyak, tetapi membuat peserta yang sebelumnya tidak aktif menjadi aktif itu amat bermakna. Sesuai dengan Kepres Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Program JKN, di mana ada 30 kementerian dan lembaga termasuk kepolisian sesuai dengan tugas dan fungsi pokoknya memperkuat kepesertaan dan juga program JKN KIS. Dalam UU JKN ini sifatnya wajib, namun ada saja masyarakat kita yang lupa. Salah satunya kita bekerja sama dengan instansi yang berhubungan dengan pelayanan publik.

Jadi harus menyertakan bukti keaktifan BPJS Kesehatan?

Ya, dan sekarang mengecek keaktifan peserta itu gampang sekali, cukup dengan aplikasi Mobile JKN. Tak sampai tiga menit sudah diketahui.

Karena berbagai sebab, masyarakat masih suka mengeluhkan layanan BPJS, bagaimana dengan hal ini?

Memang masyarakat kita sering mengeluh, yang mengucapkan terima kasih ada, tetapi tidak terlalu banyak. Makanya Anda menanyakan kasus yang mengeluh mengantre 6 jam (kasus viral Ikang Fauzi mengantre 6 jam) atau keluhan lainnya. Ini tidak bisa digeneralisir, soalnya realitasnya tidak begitu.

Yang juga menjadi perbincangan publik adalah perubahan layanan BPJS yang semula ada kelas 1, 2, dan 3 menjadi KRIS. Bisa dijelaskan soal ini?

Yang jelas sampai detik ini dan kemungkinan sampai 30 Juni 2025 semuanya masih tetap. Jadi tidak ada perubahan.

Artinya tinggal menunggu realisasinya?

Ya itu bisa terjadi, tetapi seperti apa belum tahu.

Kalau begitu BPJS ingin seperti apa?

Kita berkeinginan; pertama, mutu layanan menjadi lebih baik. Kedua, kita ingin tidak mengurangi akses tempat tidur. Ketiga, kita ingin ada standarisasi kelas. Soalnya saat ini, standarisasi itu belum ada. Contoh kelas 3 itu seperti apa, juga kelas 2, kelas 1, dan kelas VIP seperti apa? Sekarang utilitas dan kepercayaan masyarakat dalam pelayanan kesehatan meningkat. Dulu kurang dari 100.000 pengguna. Sekarang sehari sekitar 1,6 juta orang. Peningkatannya tajam sekali.

Apakah rumah sakit bisa menolak pasien BPJS kalau kamarnya penuh?

Ada yang namanya BOR (Bed Occupancy Rate), rumah sakit kita minta transparan soal ini. Ini masyarakat bisa cek, kalau dia bilang kamar penuh tetapi kenyataannya ada kamar, rumah sakit itu bisa dilaporkan ke kantor BPJS terdekat atau lewat layanan hotline. Di rumah sakit biasanya juga ada petugas yang siaga. Kami berterima kasih kepada VOI yang bisa membantu mengkomunikasikan hal ini kepada masyarakat.

Ada keluhan publik yang kami terima, tetapi salah sasaran. Misalnya soal lokasi rumah sakit yang jauh sekali. Kan BPJS tidak pernah membangun rumah sakit. Ada juga yang mengadu kok dokternya tidak ada. BPJS tidak pernah menempatkan dokter. Jadi keluhan salah alamat itu banyak. Ada yang namanya supply side dan demand side, nah BPJS itu demand side tetapi bukan semuanya. Kami menjamin akses pelayanan untuk UKP (upaya kesehatan perorangan) bukan public health.

Riuh soal perubahan layanan BPJS yang semula ada kelas 1, 2, dan 3 menjadi KRIS, Dirut BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti menegaskan tak ada perubahan dalam layanan. (Foto; Bambang Eros, DI; Raga Granada VOI)

Setelah ada BPJS Kesehatan, frekuensi kunjungan publik meningkat. Ini bisa karena pertama, banyak yang sakit, kedua, karena akses dan utilitas yang mudah. Apakah ada kemungkinan lain?

Asumsi yang pertama saya kira tidak tepat. Soalnya angka harapan hidup kita meningkat. Publik lebih banyak ke faskes menurut saya karena kesadaran akan kesehatannya lebih tinggi dari sebelumnya. Sekarang bukan hanya orang sakit, orang sehat pun bisa gunakan faskes.

Mencegah itu lebih baik daripada mengobati. Apakah ada kampanye agar masyarakat lebih perhatian dalam menjaga kesehatan daripada setelah sakit baru berobat?

Jelas ada. Negara tetangga kita saja sampai heran, kok BPJS bisa melakukan promosi prevensi seperti skrining dengan baik, meski belum sempurna. Peserta bisa akses riwayat skrining kesehatan lewat Mobile JKN setelah menjawab sekitar 45-47 pertanyaan. Nanti ketahuan apakah Anda berisiko kecil, sedang, atau tinggi untuk berbagai penyakit seperti kanker, hipertensi, dan diabetes. Itu efektif dan murah. Saat ini sudah lebih dari 39 juta peserta yang memanfaatkan skrining ini. Dari hasil skrining itu ada saran untuk periksa ke dokter yang relevan. Teknologi ini canggih, tapi banyak yang belum tahu.

Kalau begitu, sosialisasinya mungkin yang belum maksimal?

Kita sudah sangat gencar dengan berbagai cara. Tapi memang literasi masyarakat kita sangat rendah.

Salah satu pintu masuknya kalau ada kasus?

Ya, saat ada kasus lalu digeneralisasi. Itu juga tidak pas.

Agar kasus keluhan Ikang Fauzy yang antre BPJS selama 6jam tidak terulang, apa yang harus dilakukan?

Banyak sekali. Sebelum itu, pertanyaan saya, kenapa harus antre? Tinggal daftar lewat Mobile JKN, lalu menunggu di rumah sambil menulis lagu atau mengompos lagu rock. Setelah tiba giliran, baru datang ke kantor BPJS Kesehatan tempat mendaftar. Tapi untuk kasus Ikang Fauzi itu kami minta maaf. Masyarakat kita itu ada kesenjangan, ada yang sudah paham sekali, ada yang belum. Jadi gunakanlah Mobile JKN untuk mempermudah. Mau pindah faskes juga bisa lewat aplikasi.

Untuk pelayanan BPJS, apakah sudah 24 jam?

Dihubungi bisa, tapi prosesnya sesuai dengan jam kantor. Perlu diketahui rasio petugas BPJS dengan peserta itu jomplang sekali. Saya kasih perbandingan dengan lembaga serupa di Perancis, namanya CNAM, mereka melayani 70 juta orang. Karyawannya 85 ribu orang. Bandingkan dengan BPJS Kesehatan melayani 272 juta, karyawannya 8.500 orang.

Jadi tuntutan pada BPJS agar pelayanannya meningkat oke, tapi harus rasional dong. Karena itu jika dibandingkan dengan lembaga sejenis di Amerika, saya berani taruhan BPJS lebih baik, dari sisi cakupan dan teknologi yang digunakan. Amerika canggih teknologi, tapi mereka belum terintegrasi.

BPJS pernah menargetkan jumlah peserta 98% dari populasi penduduk Indonesia. Apakah target ini sudah tercapai? Saat ini berapa banyak anggota BPJS Kesehatan kita?

Yang menargetkan itu negara, sebagai lembaga yang didirikan negara kami melaksanakan target itu. Kami bersyukur saat ini sudah tercapai 97,6%, jadi tinggal sedikit lagi. Dari sisi jumlah penduduk yang di-cover sudah lebih dari 272 juta. Di negara ASEAN, tak ada yang melebihi Indonesia.

Dari semua yang sudah terdaftar, yang aktif berapa banyak?

Sebagian besar aktif, hanya sebagian kecil yang tidak aktif. Untuk membuat yang tidak aktif bisa aktif, kami lakukan sosialisasi, kerja sama dengan berbagai pihak, wawancara, dan ada yang namanya PESIAR: Petakan, Sisir, Advokasi, dan Registrasi. Ini sampai ke desa-desa, kami lakukan PESIAR.

Sampai saat ini berapa banyak peserta yang sudah merasakan manfaat BPJS, terutama untuk penyakit-penyakit yang menjadi penyebab kematian terbesar seperti hipertensi, stroke, diabetes, kanker, gagal ginjal, jantung, dll.?

Sudah banyak sekali. Setiap tahun kita bisa mengeluarkan sampai Rp34 triliun untuk penyakit dalam kategori katastropik. Pasien hemodialisis biasanya menjalani tindakan seminggu dua kali. Kalau di RS kecil biayanya 800 ribu sekali tindakan, kalau RS besar 1,2 juta sekali tindakan. Jika sebulan sudah berapa? Jauh sekali dari jumlah iurannya. Itulah manfaatnya prinsip gotong-royong. Program apa yang bisa dijalankan ratusan juta penduduk secara gotong-royong? Ya BPJS Kesehatan.

Saat ini apa masih ada keluhan kalau BPJS Kesehatan tak bayar tunggakan di RS tertentu?

Hampir tidak ada lagi keluhan itu. Kalau memang ada, tolong kasih tahu saya, biar kami selesaikan. Kami tidak ada utang jatuh tempo yang belum diselesaikan. Yang menarik, banyak negara yang belajar dari BPJS Kesehatan. Bagaimana mengelola pelayanan kesehatan untuk publik. Dulu kita defisit, sekarang positif. Realtime kita tahu perilaku dokter dan rumah sakit di seluruh Indonesia.

JKN KIS ini milik kita bersama, harus kita pertahankan dan jaga bersama. Ini sudah bagus, jangan diubah-ubah yang tidak jelas. Apalagi perubahan yang mendasar hanya karena tidak jelas.

Perubahan kekuasaan biasanya bisa mengubah. Apa harapan Anda pada pemimpin baru yang akan dilantik?

Kalaupun mau ada perubahan, harus lebih baik. Itu harapan kami pada pemimpin baru yang akan dilantik dalam waktu tidak lama lagi. Supaya bisa berkesinambungan. Ingat BPJS Kesehatan kita banyak jadi rujukan negara lain.

Ali Ghufron Mukti dan Cita-cita Dokter yang Ramah dan Gratis

Sejak kecil Ali Ghufron Mukti sudah bercita-cita menjadi seorang dokter, dan cita-cita itu terkabul. (Foto; Bambang Eros, DI; Raga Granada VOI)

Pengalaman masa kecil ternyata membekas benar dalam benak Prof. Dr. Ali Ghufron Mukti, MSc., PhD., AAK., yang kini menjabat sebagai Direktur Utama BPJS Kesehatan. Suatu masa ia datang ke sebuah klinik dokter, di sana ia bertemu dengan dokter yang tak ramah. Ia dimarahi oleh dokter yang memeriksanya. Usai diperiksa, orang tuanya masih harus merogoh kocek yang dalam untuk membayar jasa sang dokter.

Pengalaman itu membuat ia bercita-cita menjadi seorang dokter saat dewasa. “Sejak itu saya bercita-cita menjadi seorang dokter. Tapi saya mau jadi dokter yang berbeda, yang tidak marah-marah pada pasien dan kalau perlu selesai memeriksa orang tak perlu bayar alias gratis,” kenang pria kelahiran Blitar, Jawa Timur, 17 Mei 1962 ini.

Singkat cerita, setelah menamatkan SD, lanjut ke SMP dan SMA, ia masuk Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM). Karena pendidikannya terbilang lancar, Ghufron lanjut ke jenjang S2 (Tropical Medicine, The Department of Tropical Hygiene, Mahidol University, Bangkok, Thailand, 1991) dan S3 (Faculty of Medicine, University of Newcastle, Australia, 2000).

Saat menjabat sebagai Dekan Fakultas Kedokteran di UGM (2008), ia adalah dekan termuda (saat menjabat usianya 46 tahun). Dia mulai membuat kebijakan yang tidak umum, salah satunya membebaskan biaya kuliah untuk mahasiswa Fakultas Kedokteran yang tak mampu. “Tahun kedua jadi dekan jumlah yang dibebaskan membayar uang kuliah saya tingkatkan 100%, tahun ketiga mau kami naikkan lagi 100%, tapi ada program BIDIK MISI dari Kemendikbud. Yang tidak mampu dibayari dari program BIDIK MISI,” ungkap pria yang pernah menjabat sebagai Dirjen Dikti di Kemendikbudristek.

Antara Akademisi dan Birokrat

Ali Ghufron Muktimeng kritik soal banyaknya lembaga yang melakukan pengawasan pada lembaga negara. Antarpengawas kadang berseberangan dan tumpang tindih, lalu waktu mereka banyak tersita untuk melayani pengawasa, padahal tugas utama mereka melayani masyarakat. (Foto; Bambang Eros, DI; Raga Granada VOI)

Soal jumlah dokter di Indonesia yang masih kurang akan diatasi dengan pembukaan sejumlah Fakultas Kedokteran di seantero negeri, jumlahnya akan buka ada di 20 universitas. Tahun berikutnya akan terus bertambah hingga 300-an jumlahnya. “Menurut saya penambahan Fakultas Kedokteran ini harus terencana agar tidak berlebihan yang bisa menciptakan pengangguran intelektual,” kata pria yang pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Kesehatan Kabinet Indonesia Bersatu II.

Secara umum rasio dokter dengan populasi di Indonesia masih kurang, utamanya dokter spesialis. “Kalau dulu universitas yang mencetak, sekarang rumah sakit pun bisa mencetak dokter spesialis. Ada beberapa rumah sakit yang sudah disiapkan. Karena masih dalam proses, semoga ini segera terealisasi,” harapnya.

Saat ditanya lebih suka menjadi akademisi atau birokrat, Ali Ghufron Mukti menjelaskan sesungguhnya ia ingin sekali menjadi pembuat kebijakan publik yang mengerti konsepnya. “Konsep orang bekerja itu harus jelas dan bagaimana moralitas harus dijaga secara bersama. Bedanya kalau di kampus itu ada kebebasan akademis. Kalau di birokrasi banyak sekali rambunya dan banyak pengawasnya. Termasuk saya diwawancara sekarang bentuk pengawasan juga dari masyarakat melalui pers,” aku mantan Ketua Pengelola Gama Medical Center ini.

Cuma kelemahannya kalau terlalu banyak yang mengawasi, kadang kata dia, masukannya kontradiksi antara pengawas yang satu dengan yang lain. Dan hasilnya tidak efisien. “Kalau terlalu banyak yang mengawasi, kita sibuk melayani pengawas, padahal tugas utama kita melayani masyarakat,” tegasnya.

Optimalisasi Potensi

Memiliki anggaran operasional yang terbatas membuat Ali Ghufron Mukti harus cerdik memanfaatkan potensi yang ada. Yang penting dalam bekerja karyawan harus fun dan meaningful. (Foto; Bambang Eros, DI; Raga Granada VOI)

Meski dana yang dikumpulkan dari masyarakat tidak sedikit, untuk operasional BPJS Kesehatan masih dapat anggaran negara; Kementerian Keuangan. “Jadi dana operasional kami terbatas. Karena itu kami optimalkan sumber daya yang ada. Untuk sosialisasi kalau mengundang musisi dan penyanyi profesional mahal sekali. Akhirnya saya ikut bernyanyi, yang mengisi musik teman-teman, pokoknya tak ada yang dari luar,” ungkap pria yang juga menjadi profesor termuda di UGM, dalam usia 40 tahun.

Ghufron sengaja menciptakan iklim kerja yang bahagia dan bermakna. “Saya menciptakan sistem kerja yang fun and meaningful. Di kantor kami ini ada banyak komunitas; ada pemusik, olahraga, penulis. Seluruh teman-teman yang tergabung dalam komunitas itu mengkampanyekan pesan BPJS kepada masyarakat,” tukas penerima penghargaan sebagai peneliti dari Brown University dan University of California, Los Angeles (UCLA) ini.

Kreativitas yang dilakukan dengan mengoptimalkan sumber daya yang ada ternyata membuahkan hasil. BPJS Kesehatan mendapat penghargaan dari lembaga milik Hermawan Kartajaya. “Kita dapat Gold Champion dari WOW Brand yang dimotori Hermawan Kartajaya dua tahun berturut-turut. Asuransi kesehatan internasional yang punya perwakilan di sini saja kalah,” kata Ali Ghufron Mukti bangga.

"Yang menarik, banyak negara yang belajar dari BPJS Kesehatan. Bagaimana mengelola pelayanan kesehatan untuk publik. Dulu kita defisit, sekarang positif. Realtime kita tahu perilaku dokter dan rumah sakit di seluruh Indonesia,"

Ali Ghfron Mukti