Komisionernya Disanksi, KPU Lawan DKPP

JAKARTA - Rabu, 18 Maret, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memberhentikan Komisioner KPU RI Evi Novida Ginting Manik karena dianggap melakukan intervensi dalam perolehan suara dan penetapan Calon Terpilih Anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat VI. 

Evi dipecat karena dirinya memegang jabatan komisioner bidang teknis dan yang seharusnya bertanggung jawab terhadap masalah ini. Sementara, Ketua KPU dan Komisioner lainnya mendapat sanksi peringatan keras terakhir.

Setelah putusan tersebut keluar, Ketua KPU Arief Budiman hanya menjawab irit pertanyaan wartawan. "Kita akan pelajari dulu putusan tersebut," ucap Arief dalam pesan singkat.

"Mohon maaf, kami belum bisa menjawab karena masih membaca dan mempelajari putusannya," timpal Evi.

Sehari berselang, KPU mengumumkan akan memberi tanggapan secara resmi terhadap kasus pembatalan penetapan hasil perolehan suara Hendri Makaluasc dan menetapkan Cok Hendri Ramapon sebagai Caleg DRPD Gerindra Dapil Kalbar 6 dalam Pemilu Legislatif 2019.

Evi menyebut KPU tak tinggal diam dan akan menggugat DKPP ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Evi menganggap ada yang salah dengan putusan DKPP yang menilai KPU melanggar kode etik dan mengakibatkan sanksi pemecatan terhadap dirinya. Gugatan tersebut akan dilayangkan pekan depan.

"Saya akan mengajukan gugatan untuk meminta pembatalan atas putusan DKPP Nomor 317-PKE/DKPP/X/2019 tanggal 18 Maret 2020. Dalam gugatan tersebut, saya akan menyampaikan alasan-alasan lainnya agar pengadilan dan publik dapat menerima adanya kecacatan hukum dalam putusan DKPP ini," tutur Evi di Kantor KPU RI, Jakarta Pusat, Kamis, 19 Maret.  

Komisioner KPU (Foto: dokumentasi KPU)

Evi beralasan, ada dua putusan berkekuatan hukum dalam kasus ini, yakni dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Sehingga dia siap melakukan perlawanan.

KPU Kabupaten Sanggau diketahui mengoreksi hasil suara Hendri Makaluasc dan Cok Hendri Ramapon dalam Formulir Model DB1 DPRD Kabupaten Sanggau. Hendri Makaluasc merasa dirugikan dan melayangkan gugatan terhadap koreksi ini ke MK dan DKPP.

Ternyata putusan MK atas perkara nomor 154-02-20/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019 menyatakan perolehan suara Hendri Makaluasc adalah sesuai dengan hasil koreksi KPU.

"MK adalah lembaga yag berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir. Putusannya bersifat final dan mengikat. KPU ini kan wajib menindaklanjuti putusan MK," ucap Evi.

Terlebih, kata Evi, Hendri Makaluasc sudah mencabut pengaduan dalam sidang DKPP tanggal 13 November 2019. Dengan begitu, menurut Evi, Hendri Makaluasc sudah menerima dan sudah tidak ada lagi pihak yang dirugikan atas terbitnya Keputusan KPU.

Namun, DKPP tak menyetok proses sidang etik. Mereka menggunakan putusan Bawaslu untuk menjadikan landasan putusan sanksi pemecatan tersebut. 

"DKPP hanya memiliki kewenangan (secara pasif)  mengadili pelanggaran kode etik yang diajukan oleh Pengadu. Artinya, DKPP tidak bisa melakukan pemeriksaan etik secara aktif bila tidak ada pihak yang dirugikan dan mengajukan pengaduan pelanggaran etik," ungkap Evi.

"Dengan adanya pencabutan pengaduan, DKPP tidak mempunyai dasar untuk menggelar peradilan etik lagi dalam perkara ini," lanjutnya.