Jadi Saksi Karen di Sidang Korupsi LNG, JK Sebut Negara Bahaya Kalau Kurang Energi

JAKARTA - Wakil Presiden ke-10 dan 12 RI, Jusuf Kalla atau JK menyebut negara dalam bahaya jika kekurangan sumber atau cadangan energi. Karenanya, ketersediaannya mesti dijaga.

Pernyataan itu disampaikannya saat menjadi saksi meringankan atau a de charge untuk terdakwa Karen Agustiawan di persidangan kasus dugaan korupsi pengadaan gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) di Pertamina pada tahun 2011-2014.

Berawal saat JK menyampaikan ketahanan energi dan pangan mutlak harus dijaga oleh negara dengan menerbitkan kebijakan.

"Ada dua ketahanan yang selalu negara apapun harus menjaga dan mepertahankannya, yaitu kebijakan pangan dan kebijakan energi," ujar JK dalam persidangan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis, 16 Mei.

JK menyampaikan ketahanan energi mesti dijaga karena akan menyebabkan masalah besar bila terjadi kekurangan ketersediannya.

Masalah yang akan timbul salah satu di antaranya yakni merosotnya ekonomi. Sebab, sektor perindustrian akan mengalami banyak kendala.

"Energi juga kalo tidak ada energi yang cukup untuk suatu bangsa, maka, tentu masalah besar bangsa itu dan juga ekonomi sulit dan investor atau industri akan macet" sebutnya.

"Karena itulah maka ketahanan energi mutlak dilakukan oleh suatu negea termasuk kita semunya," sambung JK.

Dalam kasus ini, Karen Agustiawan didakwa merugikan negara sebesar 113,84 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau setara dengan Rp1,77 triliun akibat dugaan korupsi pengadaan gas alam cair atau LNG di Pertamina pada 2011–2014.

Dakwaan tersebut berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dalam rangka penghitungan kerugian negara atas pengadaan LNG perusahaan AS, Corpus Christi Liquefaction LLC (CCL) pada Pertamina dan instansi terkait lainnya Nomor: 74/LHP/XXI/12/2023 tanggal 29 Desember 2023.

Karen didakwa memperkaya diri sebesar Rp1,09 miliar dan sebanyak 104.016 dolar AS atau setara dengan Rp1,62 miliar. Karen turut didakwa memperkaya suatu korporasi, yaitu CCL senilai 113,84 juta dolar AS atau setara dengan Rp1,77 triliun, yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.

Selain itu, Karen juga didakwa memberikan persetujuan pengembangan bisnis gas pada beberapa kilang LNG potensial di AS tanpa adanya pedoman pengadaan yang jelas dan hanya memberikan izin prinsip tanpa didukung dasar justifikasi, analisis secara teknis dan ekonomis, serta analisis risiko.

Karen juga disebut tidak meminta tanggapan tertulis kepada Dewan Komisaris Pertamina dan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sebelum penandatanganan perjanjian jual beli LNG CCL Train 1 dan Train 2 serta memberikan kuasa