Beijing Kritik Hasil Pertemuan Trilateral AS-Jepang-Filipina

JAKARTA - China mengkritik pernyataan bersama para pemimpin Amerika Serikat, Jepang dan Filipina sebagai hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ketiga negara tersebut yang dinilai dapat memicu pembentukan blok tertentu.

"China sangat menentang praktik politik blok yang dilakukan negara-negara tersebut. Kami dengan tegas menentang tindakan apa pun yang memicu dan meningkatkan ketegangan serta merugikan keamanan dan kepentingan strategis negara lain," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning saat menyampaikan keterangan kepada media di Beijing dilansir ANTARA, Jumat, 12 April.

Pertemuan trilateral antara AS, Jepang dan Filipina untuk pertama kalinya digelar di Washington, AS pada Kamis (11/4) dan dihadiri oleh Presiden AS Joe Biden, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida dan Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr.

Dalam pernyataan bersama, ketiga pemimpin itu menyebut ketiganya mewakili tiga negara demokrasi maritim di Indo-Pasifik dengan komitmen agar kawasan Indo-Pasifik tetap bebas, terbuka, saling terhubung, sejahtera, aman dan inklusif.

Pernyataan itu juga menyampaikan keprihatinan terhadap perilaku yang disebut berbahaya dan agresif dari China di Lau China Selatan.

Ketiganya prihatin atas militerisasi wilayah yang direklamasi dan klaim maritim di Lau China selatan serta upaya untuk mengganggu ekspoitasi sumber daya lepas pantai negara lain.

Ketiganya mendukung putusan pengadilan arbitrase pada 12 Juni 2016 yang menetapkan zona eksklusif Filipina namun ditentang oleh China, sehingga AS dan Jepan pun akan terus mendukung peningkatan kapasitas penjaga pantai Filipina termasuk dengan telah menyediakan 12 kapal penjaga pantai Filipina dan akan ditambah lagi lima kapal serta rencana latihan gabungan bersama penjaga pantai dari tiga negara.

"Jepang dan Filipina mempunyai hak untuk mengembangkan hubungan normal dengan negara lain, namun mereka tidak boleh melakukan konfrontasi blok di kawasan ini, apalagi terlibat dalam kerja sama trilateral dengan mengorbankan kepentingan negara lain," ungkap Mao Ning.

Mao Ning menegaskan persoalan Taiwan adalah murni urusan dalam negeri China.

"Menyelesaikan masalah Taiwan adalah urusan China sendiri dan tidak ada yang bisa ikut campur. Ancaman terbesar terhadap perdamaian lintas Selat Taiwan saat ini adalah aktivitas separatis kekuatan 'kemerdekaan Taiwan' dan kerja sama serta dukungan eksternal terhadap mereka," kata Mao Ning.

Jika negara-negara terkait benar-benar peduli terhadap perdamaian dan stabilitas lintas Selat dan ingin dunia aman dan sejahtera, menurut Mao Ning, ketiga negara tersebut harus menjunjung prinsip "satu China" dan dengan tegas menentang aktivitas separatis "kemerdekaan Taiwan" serta mendukung reunifikasi China.

Mao Ning juga menegaskan China memiliki kedaulatan yang tak dapat ditawar atas kepulauan karang yang disebut "Nanhai Zhudao" di Laut China Selatan yaitu terdiri dari Dongsha Qundao, Xisha Qundao, Zhongsha Qundao dan Nansha Qundao dan perairan di sekitarnya.

"Aktivitas kami di Laut China Timur dan Laut China Selatan adalah sah, dibenarkan dan tidak tercela. China tidak dapat menerima tuduhan tidak berdasar dari negara-negara tersebut dan mencemarkan nama baikkami. China tidak menerima putusan arbitrase ilegal di Laut China Selatan atau tindakan sepihak apa pun berdasarkan putusan tersebut," jelas Mao Ning.

Situasi di Laut China Timur dan Laut China Selatan, ungkap Mao Nning secara umum stabil namun ada negara-negara tertentu yang terus mencari dukungan dari negara di luar kawasan karena mereka melanggar kedaulatan dan hak China serta melakukan provokasi di laut.

"Apa yang mereka lakukan telah meningkatkan ketegangan. Negara-negara di luar kawasan terus mengobarkan api dan memicu konfrontasi. Ini tampak jelas. Izinkan saya menekankan sekali lagi bahwa China akan dengan tegas menjaga kedaulatan teritorial dan haknya serta kepentingan maritim kami," tegas Mao Ning.

Secara khusus terhadap Jepang, Mao Ning menyebut masa lalu Jepang yang militeristis, ditandai dengan perang dan agresi yang menghancurkan mendorong Jepang agar secara serius memikirkan ulang sejarah agresinya dan menghormati kekhawatiran negara-negara tetangganya di Asia serta berhenti membesar-besarkan ancaman keamanan di kawasan untuk mencari alasan melakukan terobosan menggunnakan kekuatan militernya.

Sedangkan terhadap AS, Mao Ning menyebut AS masih memiliki mentalitas Perang Dingin dan sering mengancam negara lain dengan perjanjian aliansi bilateralnya.

"Tindakan tersebut sangat melanggar Piagam PBB dan merusak stabilitas regional. China tidak akan pernah goyah dalam komitmennya untuk menegakkan kedaulatan teritorial serta kepentingan maritimnya dengan tetap bekerja sama dengan negara-negara kawasan untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut Cina Selatan," papar Mao Ning.

Berdasarkan KTT trilateral itu, AS, Jepang dan Filipina berencana untuk melakukan pelatihan maritim di sekitar Jepang pada 2025.