Regulasi Publisher Rights dan Pentingnya Intervensi Negara
JAKARTA - Bukan rahasia jika saat ini publisher rights akan menguntungkan media-media besar seperti di negeri kangguru. Namun hendaknya, soliditas antar media-media kecil perlu ditingkatkan agar tujuan publisher rights menciptakan jurnalisme yang berkualitas bisa terjadi dan terwujud.
Bagaimana dengan nasib media-media kecil di sana? Mereka awalnya mengalami kesulitan bernegosiasi karena Platform Digital ogah-ogahan bernegosiasi dengan media kecil. Hingga pada suatu titik, Menteri Keuangan Australia bersikap tegas memaksa platform digital untuk bernegosiasi dengan media-media kecil secara kolektif. Hasilnya sejauh ini sangat menggembirakan bagi keberlanjutan media-media kecil itu.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda berharap Perpres Publisher Rights diimplementasikan berdasarkan prinsip keadilan, di mana harus ada pemisahan model bisnis antara news agregator dan media sosial.
Dia mengatakan, pemisahan model bisnis perlu dilakukan karena pola bisnis news agregator berbeda dengan media sosial, dimana news agregator mengumpulkan berita agar dapat di baca dengan mudah oleh penggunanya. Sementara media sosial, umumnya tidak mengumpulkan berita, tapi pemiliik akun berita yang mengunggah di akun media sosial masing-masing.
Demi melengkapi kajian menyusun perpres tentang Publisher Rights, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate kala itu, mengaku perlu melakukan kajian terhadap Undang-undang Pasar Digital (DMA) dan UU Jasa Digital (DSA) Uni Eropa. Jonny mengaku UU tersebut menjadi acuan dan menjadi bahan diskusi agar regulasi yang dibuat bisa tepat, dan cocok diimplementasikan.
Baca juga:
Aturan yang mirip dengan Publisher Rights, juga telah ada dan diterapkan di beberapa negara dengan tujuan menyelamatkan ekosistem media akibat disrupsi digital. Misalnya di Kanada dengan nama Bill C-18, dan di Australia dengan nama News Media Bergaining Code Law. Aturan tentang Publisher Right juga sudah diberlakukan Uni Eropa sejak 2019 lalu. Platform digital seperti Facebook dan Google sudah diminta membayar berita yang diproduksi oleh 300 media di Uni Eropa.
Selama tiga tahun terakhir negara-negara seperti Jerman, Prancis, Hungaria, Austria, Belanda, dan Irlandia terus diskusi untuk mengadopsi aturan yang bernama Pedoman Hak Cipta Eropa untuk menerapkannya negara mereka. Diskusi dan menerapkan rencana yang sama juga tengah dilakukan negara Amerika.
Menurut Dirjen IKP Kementerian Kominfo, Usman Kansong, di kawasan Asia negara yang telah menerapkan aturan publisher rights atau hak penerbit yakni kewajiban platform digital untuk bekerja sama dengan perusahaan pers demi mendukung jurnalisme berkualitas adalah Indonesia setelah Australia.
Pemberlakuan perpres Publisher Rights diapresiasi sejumlah pakar dan mereka meminta pemerintah mempertahankan pemberlakuan aturan tersebut, meski belum ada respon balik dari Perusahan platform digital seperti Google dan Facebook menyikapi pemberlakuan aturan itu dan menghadapi potensi sejumlah perusahan itu hengkang dari Indonesia.
Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Luar Negeri Dewan Pers Periode 2019-2022, Agus Sudibyo, menjelaskan Pubilsher Rights adalah hak pengelola media terkait proses agregasi privat, yang memiliki semangat untuk mengatur, mereduksi monopoli yang berlebihan dari platform digital.
Menurut Agus, intervensi negara dibutuhkan bukan untuk melawan platform digital, seperti Google dan Facebook, tapi untuk membuat raksasa teknologi itu tidak membuat monopoli pemusatan ekonomi yang berlebihan.
"Kalau media mati karena kesalahannya sendiri, ya tidak ada yang bisa kita lakukan, tetapi kalau media mati karena sistemnya yang tidak mendukung, sangat monopolistik, itu harus ada intervensi dari negara. Selain itu publisher right juga bisa merawat jurnalisme berkualitas, dan memastikan keberlanjutan industri media nasional." ujar Agus.
Menurut dia, hak penerbit merupakan langkah penting untuk menciptakan ekosistem media yang lebih adil dan berkelanjutan di Indonesia. Penerapan Hak Penerbit diharapkan dapat membantu perusahaan media mendapatkan pendapatan yang lebih adil, meningkatkan kualitas jurnalisme, dan memperkuat demokrasi," tandasnya.
Executive Chairman MNC Group Hary Tanoesoedibyo mengutip Nielsen, dimana pembaca online jauh melampaui pembaca cetak. Pembaca media cetak hanya 4,5 juta per hari dan akan terus turun seiring perkembangan media digital. Sementara pembaca media online 6 juta per hari. Jumlah ini akan terus naik. “Media cetak harus menunggu 1 hari dan bayar, media online instan dan gratis,” kata dia.
Dia juga mengutip Putusan MK Nomor 78/PUU-XVIII/2020 tanggal 29 Septermber 2020 yakni permohonan PT Nadira Intermedia Nusantara terkait pembebasan Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB) menayangkan siaran Lembaga Penyiaran Swasta (LPS). Putusan ini menyatakan hak cipta adalah hak ekslusif dari pemilik hak cipta dan melarang pihak lain untuk melaksanakan atau menggunakan hak cipta tanpa persetujuan pemegang hak cipta
“LPB dilarang melakukan penyiaran ulang (redistribusi) dalam bentuk apapun tanpa izin dari LPS pemegang hak cipta atas konten siaran,” kata dia.
Karena itu, agregasi dalam bentuk apapun oleh aggregator/search engine atas konten milik publisher harus ada izin atau kesepakatan bersama. Menurutnya, agregasi tanpa izin, apalagi dikomersialkan bentuk pelanggaran hak cipta sesuai UU No. 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta. “Disarankan publisher secara bersama-sama melalui Dewan Pers dan/atau AMSI berjuang untuk kepentingan publisher agar ada bagi hasil pendapatan (iklan/ berlangganan),” usulnya.
Sebelumnya, dalam keterangan persnya, Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh periode 2019-2022, menyatakan esensi dari kehadiran pers harus mampu menjahit seluruh kekuatan bangsa. "Kita harus terus-menerus membangun kebersamaan kita, esensi kawan-kawan pers itu adalah menjahit bukan untuk 'mempreteli', tetapi menjahit seluruh kekuatan bangsa ini, sehingga menjadi baju yang enak dipandang dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya," kata dia.
Hal yang sama disampaikan Nezar Patria, bahwa Perpres ini mengatur secara detil soal dua poin itu. Platform digital wajib memfasilitasi konten-konten berkualitas yang dibuat publisher yang sesuai dengan UU Pers.
"Pertama mendukung jurnalisme berkualitas dan kedua menjaga keberlangsungan industri media pers di Indonesia. Perpres ini mengatur secara detil soal dua poin itu. Platform digital wajib memfasilitasi konten-konten berkualitas yang dibuat publisher yang sesuai dengan UU Pers. Lalu memberikan upaya terbaik dalam rancangbangun algoritma, yang memberikan tempat untuk jurnalisme yang berkualitas. Dalam rangka menjaga keberlangsungan media diatur soal bagi hasil, semacam frame-work untuk kerja sama B2B (Business-to-business), antara publisher dan platform digital. Bisa juga bagi data aggregat, lisensi berbayar, dan bentuk kerja sama yang lain, silahkan saja bisa diatur sendiri. Yang penting kolaborasi itu saling menguntungkan dan fair," katanya.
"Perpres ini hanya mengatur konten news yang dikomersialisasi. Untuk konten kreator tidak diatur meski pun pembuatnya adalah wartawan yang bekerja pada semua media profesional," katanya.
Dia menilai yang terpenting saat ini adalah soal sinergi dan konvergensi. "Pada akhirnya itu kesahihan dari berita itu, ketepatan dari informasi itu, dan kecepatan menjadi esensinya, maka apa yang kita gagas hari ini jurnalisme yang berkualitas ini sungguh jalan yang benar."
Sebagai jalan yang benar dalam membangun sinergi agar pers mampu berperan menjahit kekuatan bangsa. Menurutnya, jurnalisme yang berkualitas ini tentu ada syaratnya yakni keberlangsungan industri pers sendiri harus selalu dijaga dan kedua kemerdekaan pers juga harus dipastikan. "Dari situ pula kualitas dan perlindungan kawan-kawan jurnalis, kesejahteraan kawan-kawan jurnalis itu menjadi bagian yang tidak bisa kita pisahkan," katanya