Karena Alasan Menghindari Kepanikan, Istana Tak Buka Data Sebaran COVID-19
JAKARTA - Pemerintah menuai kritik dari berbagai pihak lantaran tak kunjung melakukan transparansi dengan membuka data persebaran wabah virus corona atau COVID-19 di Indonesia. Pemerintah dianggap menutupi kebenaran mengenai COVID-19.
Deputi IV Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden (KSP), Juri Ardiantoro menegaskan, pemerintah memang tidak bisa terlalu 'vulgar' terkait dengan COVID-19 ini. Hal itu bukan tanpa alasan, tidak diungkapkannya data tersebut agar tak menimbulkan kepanikan di tengah masyarakat.
"Pemerintah tidak serta merta menggunakan istilah-istilah atau jargon atau kebijakan yang bisa membuat masyarakat semakin panik. Jadi keterbukaan informasi itu harus diukur, apakah keterbukaan itu akan membuat masyarakat semakin waspada atau justru terbaliknya di masyarakat akan semakin panik," katanya, di dalam diskusi Polemik, Hotel Ibis Tamarin, Jakarta Pusat, Sabtu, 14 Maret.
Juri mengatakan, pemerintah melakukan dua hal terkait dengan keterbukaan informasi. Pertama, menyampaikan bahwa pemerintah serius menangani kasus COVID-19. Kedua, menyampaikan bahwa masyarakat harus waspada terhadap virus asal Wuhan, China itu.
"Karena kepanikan itu akan berimbas pada munculnya tindakan-tindakan sosial yang kontra produktif kemudian mengganggu pada aspek kehidupan sosial yang lain," tuturnya.
Di sisi lain, Juri memastikan Presiden Jokowi telah memerintahkan jajarannya untuk melakukan pelacakan (tracing) kontak dengan 69 pasien positif COVID-19 (update per Sabtu 14 Maret, sudah 96 yang positif).
Apalagi, Jokowi juga telah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-2019). Gugus Tugas ini dipimpin oleh Kepala BNPB Doni Monardo.
"Tapi, untuk dibuka secara vulgar data orang-orang itu kan tidak mungkin," jelasnya.