Transparansi Blockchain: Antara Kebebasan dan Pengawasan
JAKARTA - Blockchain, teknologi yang menjadi dasar dari kripto dan Web3, sering dipuji karena memberikan transparansi dan desentralisasi. Namun, apakah transparansi itu selalu menguntungkan pengguna? Atau malah menjadi alat pengawasan yang baru?
Transparansi blockchain berarti semua transaksi dan data yang terjadi di jaringan blockchain dapat dilihat oleh siapa saja. Ini sebenarnya bukan fitur yang esensial untuk menjaga keamanan dan validitas transaksi on-chain. Ini lebih merupakan kelemahan yang diakibatkan oleh desain blockchain yang bersifat publik dan tidak dapat diubah.
Transparansi ini memaksa pengguna Web3, yaitu pengguna yang mengakses internet melalui protokol terdesentralisasi, untuk mengekspos data keuangan paling sensitif mereka kepada publik. Data ini mencakup jumlah, jenis, dan waktu transaksi, aset yang dimiliki, alamat dompet, dan lain-lain.
Data ini tentu sangat berharga bagi pihak-pihak yang ingin memanfaatkannya untuk berbagai tujuan, baik legal maupun ilegal. Misalnya, pemasar, penjual, regulator, penegak hukum, peretas, pencuri, dan lain-lain.
Beberapa alat pemasaran blockchain telah muncul dalam beberapa tahun terakhir, yang memungkinkan pihak-pihak tersebut untuk menggunakan data on-chain yang mengalir secara bebas untuk mendapatkan wawasan tentang perilaku, preferensi, dan tren pengguna Web3. Alat-alat ini juga dapat digunakan untuk membuat profil pengguna, menargetkan iklan, menawarkan produk atau layanan, dan lain-lain.
Dengan kata lain, transparansi blockchain membuka pintu bagi praktik profil dan pengawasan yang biasa terjadi di Web2, yaitu internet yang didominasi oleh perusahaan-perusahaan raksasa seperti Google, Facebook, dan Amazon. Hanya saja, kali ini, bukan hanya data perilaku yang dianalisis, tetapi juga data keuangan paling sensitif.
Baca juga:
Web3 tidak akan pernah menjadi mainstream kecuali kita berhasil menyelesaikan masalah transparansi ini. Pengguna tidak akan mau beralih ke Web3 jika mereka merasa privasi dan keamanan mereka terancam. Mereka juga tidak akan mau menggunakan Web3 jika mereka merasa tidak memiliki kendali atas data mereka sendiri.
Blockchain dan Web3 seharusnya menjadi pelarian dari kekuasaan terpusat, bukan menjadi alat pengawasan baru. Mereka seharusnya memberikan kebebasan dan otonomi kepada pengguna, bukan membuat mereka terpapar dan rentan.
Untuk itu, kita perlu mencari solusi yang dapat menyeimbangkan antara transparansi dan privasi, antara kebebasan dan pengawasan, antara desentralisasi dan regulasi. Solusi ini harus memungkinkan pengguna untuk memilih data apa yang ingin mereka bagikan, kapan, dan dengan siapa.
Sebagaimana dilansir dari Blockworks, salah satu solusi yang mungkin adalah menggunakan teknologi enkripsi dan zero-knowledge proof, yang dapat membuktikan suatu fakta tanpa mengungkapkan detailnya. Teknologi ini dapat digunakan untuk memverifikasi identitas, kepemilikan, atau transaksi tanpa harus mengekspos data pribadi.
Teknologi ini juga dapat digunakan untuk memenuhi persyaratan regulasi dan verifikasi, yang semakin penting seiring dengan pertumbuhan industri kripto dan Web3. Banyak negara yang telah mengeluarkan aturan-aturan untuk mengatur sektor ini, seperti KYC (Know Your Customer), AML (Anti-Money Laundering), dan CFT (Combating the Financing of Terrorism).
Dengan teknologi enkripsi dan zero-knowledge proof, pengguna dapat mematuhi aturan-aturan tersebut tanpa harus mengorbankan privasi dan keamanan mereka. Mereka juga dapat memanfaatkan data on-chain mereka untuk tujuan lain, seperti mengakses layanan keuangan, mendapatkan kredit, atau berpartisipasi dalam komunitas.