Guru Besar Hukum Unpak Sebut MK Tak Berwenang Tangani Dugaan Pelanggaran TSM Pemilu
JAKARTA - Guru Besar hukum konstitusi Universitas Pakuan (Unpak) Bogor, Andi Asrun menanggapi adanya upaya gugatan terhadap dugaan pelanggaran pemilu secara terstruktur, sistematis, dan masif ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, gugatan tersebut bukan wewenang MK melainkan ranah Bawaslu sebagai pihak pengawas pemilu.
"Berkaca kepada undang-undang Pemilu dan juga jurisprudensi Mahkamah Konstitusi, maka pemeriksaan pelanggaran-pelanggaran Pemilu yang bersifat TSM bukan ranahnya Mahkamah Konstitusi, tapi seharusnya dibawa ke Bawaslu," ujar Andi Asrun dalam diskusi Forum Doktor di kawasan Senayan, Jakarta, Kamis, 22 Februari.
Andi Asrun lalu menyinggung keberadaan para mantan Ketua MK yang ada di masing-masing paslon penggugat. Di mana paslon nomor urut 1 ada Hamdan Zoelva, dan paslon nomor urut 3 ada Mahfud MD yang keduanya sama-sama merupakan mantan Ketua MK.
Andi Asrun menilai, kedua tokoh tersebut tentu sependapat bahwa MK tak memiliki wewenang untuk menindaklanjuti gugatan soal pelanggaran pemilu TSM.
"Berkaca pada dua tokoh ini, mereka punya keyakinan bahwa pelanggaran TSM bukan tepatnya di MK, tapi Bawaslu," kata Andi Asrun.
"Kalau seandainya dibawa ke MK, maka itu adalah suatu pekerjaan sia-sia, pekerjaan mubazir dan juga artinya mereka membawa pelanggaran TSM ke MK adalah menunjukkan sikap yang inkonsisten ya, paradoks konstitusional tidak memahami hukum acara MK," sambungnya.
Senada dengan Andi Asrun, Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Khamis juga menyebut bahwa penanganan pelanggaran atau kecurangan secara TSM itu ranahnya ada di Bawaslu, bukan MK. Itupun, kata dia, harus dibuktikan secara spesifik jika kecurangan atau pelanggaran yang terjadi memang benar-benar mempengaruhi hasil pemilu, bukan cuma soal selisih suara saja.
Margarito menekankan, salah satu yang harus dibuktikan adalah adanya kesalahan penghitungan, bukan soal prosedur.
"Kecurangan-kecurangan itu lebih karena pada salah hitung misalnya begitu ya, bukan karena prosedur pelaksanaannya. Karena kalau anda mau jadikan prosedur sebagai vokal poin dalam permohonan ini itu menjadi salah. Mengapa? Karena undang undang memerintahkan soal-soal itu dibawa ke Bawaslu bukan ke Mahkamah Konstitusi itu ya," kata Margarito.
Baca juga:
Menurut Margarito, selama ini kubu paslon 1 maupun 3 terkecoh dengan hasil Sirekap milik KPU, dimana hal tersebut bukan jadi acuan surat suara sah hasil penghitungan pemilu.
"Saya lihat teman-teman di kubu 1 dan 3 itu terkecoh dengan memberi fokus pada Sirekap itu. Padahal Sirekap bukan bukan satu-satunya bukan soal yang menjadi dasar lahirnya angka (suara) itu. Ini kan cuma alat bantu percepatan agar memberikan informasi kepada orang," kata Margarito.
"Tapi secara hukum yang menjadi entitas adalah hasil rekapitulasi jadi mesti pastikan di hasil rekapitulasi jangan pusing dengan Sirekap itu," pungkasnya.