Ombudsman Minta KPU dan Kemenkumham Pastikan Tahanan-Napi Bisa Mencoblos

JAKARTA - Ombudsman meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) memastikan seluruh warga binaan pemasyarakatan (WBP) memperoleh haknya dalam pemilihan umum (pemilu) 2024.

Anggota Ombudsman Johanes Widijantoro mengatakan penyampaian suara dari masyarakat dalam memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden, dan anggota legislatif menjadi salah satu bentuk pemenuhan hak sipil politik dari masyarakat sesuai Pasal 43 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia, tak terkecuali terhadap WBP di lembaga pemasyarakatan (Lapas) dan rumah tahanan negara (Rutan).

"Permasalaan perpindahan data dalam daftar pemilih tetap (DPT), daftar pemilih tambahan (DPTb) maupun daftar pemilih khusus (DPK) tentunya perlu menjadi evaluasi ke depan. Jangan sampai karena permasalahan tersebut seorang warga negara tidak dapat menggunakan hak pilihnya," kata Johanes dalam keterangan resmi di Jakarta, Selasa.

Berdasarkan data dari KPU yang disampaikan dalam pertemuan secara daring antara KPU, Ombudsman RI dan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pemasyarakatan Kemenkumham pada 6 Februari 2024, jumlah total pemilih pemilu 2024 sebanyak 204,81 juta orang.

Dari jumlah tersebut, kata dia, pihak Ditjen Pemasyarakatan menyampaikan estimasi pemilih dari WBP di seluruh Indonesia berjumlah 242.308 orang, terdiri atas DPT aktual sebanyak 139.705 orang, DPTb sebanyak 65.743 orang dan calon DPK  36.860 orang.

Adapun WBP meliputi narapidana, anak didik pemasyarakatan, dan klien pemasyarakatan. Menurut Johanes, banyaknya jumlah WBP yang keluar dan masuk lapas tiap harinya tentu berpengaruh pada data pemilih yang seharusnya mendapatkan hak pilih di dalam lapas.

Dalam diskusi tersebut, kata dia, pihak Ditjen Pemasyarakatan menyampaikan terdapat beberapa permasalahan yang secara faktual terjadi pada beberapa Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemasyarakatan, yakni pertama, permasalahan terkait DPT yang pada awalnya sudah didaftarkan di TPS khusus di lapas, namun saat ini telah bebas, sehingga terjadi perubahan TPS.

Permasalahan kedua, yakni terdapat WBP yang belum terdaftar di TPS khusus di lapas karena terdaftar di TPS tempat tinggal asal. Ketiga, WBP tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP), sehingga beberapa upaya kerja sama dengan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) wajib dilaksanakan.

Berdasarkan keterangan dari pihak KPU dan Ditjen Pemasyarakatan, Johanes menyebutkan kedua belah pihak telah melaksanakan pertemuan untuk membahas pelayanan pemilih di lapas dan rutan pada 16 Januari 2023.

 Namun, kata dia, beberapa permasalahan mengenai jumlah DPT yang tidak sesuai data faktual karena data WBP yang fluktuatif di lapas dan rutan, serta jumlah surat suara yang disediakan hanya sejumlah DPT ditambah dua persen sebagaimana ketentuan Pasal 344 ayat (2) UU Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu, berpotensi tidak dapat memenuhi kebutuhan jumlah pemilih di lapas, khususnya pada DPK.

Di samping itu, kata Johanes, jumlah DPT telah ditetapkan sebagaimana Keputusan KPU Nomor 857 Tahun 2023 tentang penetapan rekapitulasi daftar pemilih tetap tingkat nasional dalam penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2024.

Johanes menuturkan ketersediaan jumlah surat suara yang terbatas di lapas dan rutan tersebut memunculkan potensi adanya WBP yang tidak dapat menggunakan hak pilihnya karena WBP tidak dapat mencari TPS lain yang memiliki sisa surat suara, selain di dalam lapas.

"Aturan yang berlaku saat ini tentu belum cukup mengakomodir untuk mengantisipasi data pemilih pada TPS khusus seperti di lapas dan rutan. Maka ke depan perlu dilakukan antisipasi akan permasalahan data pemilih di TPS khusus ini," ujarnya.