Rupiah Diproyeksikan Melemah Seiring Penguatan Dolar AS

JAKARTA - Nilai tukar rupiah pada perdagangan Rabu, 7 Februari 2024 diperkirakan akan kembali bergerak fluktuatif namun ditutup melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) seiring penguatan dolar AS dan ekspetasi penurunan suku bunga acuan. 

Mengutip Bloomberg, nilai tukar Rupiah hari Selasa 6 Februari, Kurs rupiah spot di tutup melemah 0,14 persen Rp15.730 per dolar AS. Sementara, kurs rupiah Jisdor ditutup turun 0,18 persen ke level harga Rp15.734 per dolar AS. 

Direktur PT.Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi menyampaikan Institute for Supply Management (ISM) mengatakan pertumbuhan sektor jasa AS meningkat pada bulan Januari karena peningkatan pesanan baru dan pemulihan lapangan kerja. Hal ini menunjukkan momentum pertumbuhan ekonomi dari kuartal keempat meluas ke tahun baru.

Adapun, PMI non-manufaktur ISM meningkat menjadi 53,4 dari 50,5 pada bulan Desember, lebih tinggi dari perkiraan ekonom yang disurvei oleh Reuters sebesar 52,0. Angka di atas 50 menunjukkan pertumbuhan di industri jasa, yang menggerakkan lebih dari dua pertiga perekonomian. 

"Data tersebut menambah laporan ketenagakerjaan AS yang dirilis pada hari Jumat yang jauh melebihi ekspektasi dan memaksa pasar untuk menyesuaikan kembali prospek penurunan suku bunga, kekuatan dolar, dan seberapa tinggi imbal hasil Treasury, yang bertindak untuk meningkatkan mata uang AS," ujarnya dalam keteranganya dikutip Rabu, 7 Februari.

Pasar mulai memperhitungkan kemungkinan penurunan suku bunga lebih awal oleh The Fed. Suku bunga yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama mengurangi daya tarik aset-aset yang berorientasi pada risiko dan memberikan imbal hasil tinggi, dan juga membatasi aliran modal asing ke pasar regional.

Dari sisi internal, pertumbuhan ekonomi selama 5 tahun terakhir masih belum menunjukkan peningkatan yang signifikan. Di mana yang paling tertinggi hanya berada di atas 5 persen. Namun, impian untuk menjadi negara maju membutuhkan tingkat pertumbuhan ekonomi tumbuh di kisaran 6-7 persen. 

Secara rinci, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pertumbuhan ekonomi di tahun 2019 sebesar 5,02 persen. Kemudian, merosot pada tahun 2020 yang terkontraksi 2,07. Hal ini disebabkan adanya pandemi Covid-19 yang menghambat laju pertumbuhan. 

Selanjutnya, di tahun 2021 ekonomi mulai pulih dengan capaian pertumbuhan ekonomi sebesar 3,70 persen. Adapun, tahun 2022 dan 2023 pertumbuhan ekonomi kembali di atas 5 persen, yakni masing-masing sebesar 5,31 persen dan 5,05 persen. 

Selain itu, Ibrahim menyampaikan guna untuk mencapai Indonesia menjadi negara maju, maka harus meningkatlan ICOR (incremental capital output ratio) di angka 4. Saat ini, ICOR Indonesia dibandingkan negara lain masih tinggi, di sekitar angka 6 lebih sedikit. 

Namun ICOR saat ini, merupakan hal yang wajar, pasalnya Indonesia sedang membangun infrastruktur dan logistik yang memerlukan waktu untuk merasakan dampaknya, sehingga kedepan bisa menggenjot pertumbuhan ekonomi dengan perbaikan ICOR.

Selanjutnya, menurut Ibrahim sektor perdagangan juga harus menjadi perhatian. Di mana sektor perdagangan merupakan bagian kelanjutan dari industri. Sehingga, bila sudah adanya integrasi antara industri manufaktur dengan industri perdagangan maka diharapakan pertumbuhan ekonomi akan moncer mencapai target 6-7 persen.

Ibrahim memperkirakan rupiah akan bergerak fluktuatif namun ditutup melemah pada perdagangan Rabu 7 Februari dalam rentang harga Rp15.710- Rp15.770 per dolar AS.