Kenapa Kita Harus Menghakimi Selera Musik Orang Lain?

JAKARTA - Diah (24) merasa jengkel, saat dia lagi gandrung dengan lagu Sheila on 7 beberapa tahun lalu, malah dicemooh oleh orang lain. Dia tak bisa berbuat banyak, sebab yang menghakimi selera musik Diah adalah seniornya di kampus.

"Waktu kuliah lima tahun yang lalu kira-kira, gue lagi kerajingan banget sama Sheila on 7. Semua lagunya yang dulu gue dengerin terus ada teman gue yang kritik, 'kenapa sih elo mesti banget dengar Sheila on 7, lagu mereka biasa banget enggak ada istimewanya," kata Diah kepada kami beberapa waktu yang lalu.

Bukan hanya Diah, ada juga Ahda (25) yang juga mengalami hal tersebut. Hobinya mendengarkan lagu post-rock dari beberapa band asal Jepang juga dihakimi sebagai penikmat musik pop-idol atau band visual kei. "Padahal yang gue dengerin beda banget genrenya dan gue enggak pernah merasa mengusik mereka juga," katanya.

Fenomena penghakiman selera musik ini sebenarnya marak belakangan ini. Dari pantauan media sosial, banyak yang menghakimi selera musik orang lain.

Bahkan, di Twitter ada akun @txtbocahindie yang isinya berupa tangkap layar pembicaraan anak muda yang merasa dirinya begitu memahami permusikan indie. Kami sudah mencoba menghubungi admin @txtbocahindie, sayang, sang admin tak mau diwawancara untuk mengetahui alasan mereka membuat akun tersebut.

Dari kumpulan tangkap layar tersebut, cukup banyak hasil perbincangan yang isinya seseorang menyinggung selera musik orang lain. 

Pengamat musik Mudya Mustamin menganggap lumrah adanya perbedaan penilaian terhadap karya musik. Apalagi, hal ini banyak dialami oleh anak-anak usia muda atau remaja karena mereka sedang dalam pencarian jati diri, dan bisa saja mereka sebenarnya juga tak paham-paham amat soal musik yang didengarkan.

"Mereka juga belum tentu (paham) dan karena itu yang lagi ngetren, lagi banyak disukai teman-temannya makanya semuanya ngikut. Tapi itu enggak mutlak juga mereka benar-benar ngerti musik itu, gitu kan," katanya saat dihubungi lewat sambungan telepon, Senin, 9 Maret.

Sesungguhnya, menurut Mudya, para pemusik juga tak akan mau jika karya hanya dinikmati secara segmented atau spesifik. "Ya mereka kan maunya yang dengerin pasti banyak," tegas dia.

Dia meyakini, nantinya penilaian subjektif yang dilakukan oleh mereka akan berubah seiring berjalannya waktu, dan makin banyaknya jenis musik yang didengar. 

Sementara, lanjut Mudya, soal pengotakan selera musik yang dilakukan mereka, ternyata bertolak belakang dengan para musisi indie itu sendiri. Sebab, kata dia, musisi indie sebenarnya merupakan pergerakan dari mereka yang tak nyaman dengan aturan yang ada di dunia musik mainstream atau label rekaman mainstream. Lagipula, kata Mudya, pengotakan musisi indie dan yang mainstream dinilai tak relevan lagi di era digital ini.

"Semenjak era digital perbedaan indie dan major label sudah tidak terlalu berbeda karena kerjanya sama, bahkan yang terjadi saat ini label-label atau musisi indie khususnya di Indonesia masih bisa merilis album-album fisik di mana major label hanya berani buka lapak di pasar digital."

Pengamat musik Mudya Mustamin

Namun pada akhirnya, perdebatan ini sebenarnya tak perlu dilakukan. Sebab ada pepatah latin yang mengatakan "De gustibus non est disputandum" atau artinya "Mengenai selera, tidak usah diperdebatkan."