Eksklusif, Ketua KPI Ubaidillah, Soal Keberimbangan Amat Subyektif, Namun Ada Hal Minimal yang Harus Dilakukan
Berimbang dalam arti yang sesungguhnya memang agak sulit dilakukan. Apalagi ketika lembaga penyiaran, pemiliknya sudah berafiliasi kepada salah satu paslon atau partai politik. Menurut Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Ubaidillah pelaksanaan program siaran harus tetap berimbang sesuai amanat UU Penyiaran, berimbang dalam dalam porsi dan nada berita yang ditampilkan.
***
Adalah realitas yang terjadi saat ini kalau beberapa kelompok lembaga penyiaran publik dimiliki atau mayoritas sahamnya dikuasai oleh individu yang berafiliasi pada paslon tertentu atau partai politik tertentu yang bertarung di pilpres dan pileg 2024. Karena itulah kata Ubaidillah, KPI terus melakukan pengawasan agar penggunaan frekwensi sebagai ranah publik tidak semena-mena.
Kata kuncinya lanjut Ubaidillah adalah adil dan proporsional. “Memang ada individu atau kelompok lembaga penyiaran yang berafiliasi pada partai politik tertentu. Selama menjalankan siaran mereka harus mematuhi UU yang berlaku. Dalam melakukan siaran atau pemberitaan soal politik harus proporsional dan adil,” tegasnya.
Untuk adil dalam artis sesungguhnya adalah hal yang sulit dilakukan. Namun setidaknya, tegas Ubaidillah ada dua hal minimal yang harus dilakukan oleh lembaga penyiaran publik dalam menyiarkan berita politik. Rujukannya adalah UU 32 tahun 2002 tentang Penyiaran dan P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) dan PKPI nomor 4 tahun 2023 terkait Pengawasan Pemberitaan dan Iklan Kampanye Pemilihan Umum pada Lembaga Penyiaran.
“Soal keberimbangan itu yang penting semua paslon diberitakan sama durasinya. Patokan lainnya adalah tone-nya. Kalau paslon satu diberitakan positif yang lain juga begitu. Sebaliknya kalau negatif. Bukan yang satu diberitakan positif, dan paslon lain diberitakan negatif. Meski sama porsi dan durasi pemberitaan namun tone-nya beda, itu juga tidak adil,” tegas Ubaidillah kepada Edy Suherli, Bambang Eros, Irfan Medianto dan Dandi Juniar dari VOI yang menemuinya di kantor KPI Pusat, di jalan Juanda Jakarta Pusat belum lama berselang.
Selain soal pemberitaan politik jelang pemilu, ia juga bicara soal pelanggaran lembaga penyiaran dan teguran KPI, keberagaman konten, keberagaman kepemilikan lembaga penyiaran yang saat ini masih belum terwujud, dan juga soal revisi UU Penyiaran. Inilah petikan selengkapnya.
Tugas KPI adalah melakukan pengawasan terhadap materi siaran televisi dan radio di Indonesia, dalam tiga bulan terakhir apa temuan pelanggaran penyiaran?
Dalam tiga bulan terakhir yang pelanggaran yang kami temukan seputar isu perlindungan anak dan perempuan, lalu soal politik karena ini tidak lama lagi kita akan menghadapi pilpres dan pileg. Jadi soal itu yang kami temukan.
Soal politik yang kian panas jelang pilpres dan pileg 2024, bagaimana KPI melakukan pengawasan?
Terkait pemilu, KPI memiliki regulasi dalam melakukan pengawasan. Kami tidak bisa lepas dari UU 32 tahun 2002 tentang Penyiaran dan P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran). Selain itu ada juga PKPI nomor 4 tahun 2023 terkait Pengawasan Pemberitaan dan Iklan Kampanye Pemilihan Umum pada Lembaga Penyiaran. KPI juga tergabung dalam Gugus Tugas pengawasan pemberitaan dan penyiaran pemilu bersama KPU, Bawaslu dan Dewan Pers. Regulasi yang ada di KPI dan Lembaga yang tergabung dalam Gugus Tugas digunakan dalam pengawasan ini. Sebelum tanggal 21 Januari paslon dan caleg baru boleh menyampaikan visi misinya, setelah itu baru kampanye terbuka yang mengajak calon pemilih mencoblos.
Apa saja yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan para paslon dan caleg agar tidak melanggar aturan soal penyiaran?
Secara umum KPU sebagai lembaga penyelenggara pilpres dan pileg yang tahu mana yang boleh dan tidak boleh, KPI hanya mengamati hal mana saja konten yang didistribusikan melalui lembaga penyiaran yang melanggar. Yang penting sebelum tanggal 21 paslon dan caleg belum bisa terang-terangan mengajak publik untuk mencoblos. Sifatnya akumulatif, kalau cuma nomor urut saja bisa, visi misi saja boleh saja. Setelah masuk dalam fase kampanye terbuka silahkan melakukan ajakan secara terang-terangan.
Beberapa petinggi partai politik di negeri ini adalah pemilik kelompok media besar di Indonesia, bagaimana pengawasan KPI agar mereka tidak memonopoli frekwensi siaran televisi dan radio?
Memang ada individu atau kelompok lembaga penyiaran yang berafiliasi pada partai politik tertentu. Selama menjalankan siaran mereka harus mematuhi UU yang berlaku. Dalam melakukan siaran atau pemberitaan soal politik harus proporsional dan adil. Saat sosialiasi kami sampaikan kepada lembaga penyiaran untuk memberikan hak yang sama kepada semua paslon, bukan hanya paslon atau parpol atau caleg yang berafiliasi dengan mereka saja. Memang kami sempat mendapat keluhan dari beberapa insan media, mereka bilang kami akan meliput apa kalau paslon atau parpol tidak melakukan aktivitas, atau kalau beraktivitas tidak punya nilai berita. Jadi paslon dan caleg juga harus kreatif.
Soal keberimbangan itu subyektif seperti apa detilnya dari KPI?
Soal keberimbangan itu yang penting semua paslon diberitakan sama. Patokan lainnya adalah tone-nya. Kalau paslon satu diberitakan positif yang lain juga begitu. Sebaliknya kalau negatif. Bukan yang satu diberitakan positif, dan paslon lain diberitakan negatif. Meski sama porsi dan durasi pemberitaan namun tone-nya beda, itu juga tidak adil.
KPI menegur acara Uang Kaget di MNCTV yang menampilkan Liliana Tanoe Soedibjo, selain itu apakah ada lagi yang dipantau oleh KPI?
Sebelum memberikan sanksi kami melakukan klarifikasi atas lembaga siaran yang acaranya menampilkan apa yang seharusnya tidak. Jadi sebelum sanksi diberikan ada tahap yang kami lakukan, seperti klarifikasi dan setelah itu baru diberi teguran. Kami tidak ingin pemilik media dalam hal ini melakukan acara di daerah pemilihan yang bersangkutan, soalnya dia kan caleg. Tokoh atau caleg lain juga dipantau, kalau dia melakukan kesalahan yang sama akan mendapat teguran juga. Frekwensi itu adalah ranah publik, tidak bisa digunakan semena-mena meski dia pemilik saham terbesar di sebuah lembaga penyiaran.
KPI memberikan teguran pada acara Brownis TransTV karena hostnya; Ivan Gunawan bergaya perempuan dalam busana, riasan dan perilaku, mengapa baru sekarang dilakukan?
KPI memang sudah menegur lembaga penyiaran yang punya acara bernama Brownis di TransTV. Kami tidak punya hak menegur individu yang tampil dalam siaran tersebut. Harapan kami setelah mendapat teguran ada perbaikan, lembaga penyiaran yang mengingatkan hostnya. Ke depan diharapkan bisa lebih baik. Tujuannya adalah melindungi anak-anak dan remaja atas perilaku yang tidak pantas ditampikan di televisi dan radio.
Ivan Gunawan melakukan perlawanan atas teguran KPI, dengan memilih mundur dari acara Brownis, dia menuding KPI tak mengerti fashion, apa tanggapan Anda?
Kami menegur lembaga penyiarannya, bahwa host di acara itu mengundurkan diri itu urusan yang bersangkutan. Kami sangat menghargai keragaman budaya dan busana yang ada di setiap daerah. Tapi busana itu penggunaannya harus sesuai, busana perempuan untuk perempuan bukan untuk pria. Begitu juga sebaliknya.
Baca juga:
Sesuai dengan amanat UU Penyiaran No 2 tahun 2002, KPI itu independen dari pemilik modal, apakah selama ini ada upaya untuk intervensi?
KPI adalah perwakilan masyarakat yang bertugas menilai semua acara di televisi dan radio. Kami harus memastikan publik mendapat informasi yang benar melalui lembaga penyiaran. Sampai saat ini tidak ada intervensi pada kami. Kalau pun ada aturan baru kami selalu melakukan sosialiasi sebelum diterapkan. Ini semua untuk mendukung agar lembaga penyiaran yang selama ini tidak bertumbuh bisa tumbuh kembali pasca COVID-19.
Apakah diversity of content (prinsip keberagaman isi) dan diversity of ownership (prinsip keberagaman kepemilikan) sudah tercermin di lembaga penyiaran kita saat ini?
Sekarang diversity of content (prinsip keberagaman isi) sudah amat beragam. Masyarakat semakin banyak pilihan. Ada lembaga penyiaran yang khusus menayangkan berita, hiburan, olahraga bahkan ada yang khusus untuk anak-anak. Namun untuk diversity of ownership (prinsip keberagaman kepemilikan) ini yang belum bisa terwujud. Ini menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Terutama di kota besar seperti Jakarta, televisi besar atau grup media penyiaran besar pemiliknya bisa dihitung.
Setiap lembaga penyiaran bersaing untuk merengkuh penonton dan pendengarnya, apakah selama ini persaingannya sudah sehat?
Persaingan lembaga penyiaran televisi dan radio kita berharap dalam koridor yang sehat, apa yang disuguhkan adalah yang berguna dan terbaik untuk masyarakat. Jadi publik bisa mendapat manfaat sebanyak mungkin dari lembaga penyiaran yang ada. Sejauh ini yang kami perhatikan persaingan masih dalam batas yang wajar, dalam konten misalnya saat ada satu topik yang ramai atau trending lembaga penyiaran lain juga mengikuti dengan latar yang sedikit berbeda.
Soal RUU Penyiaran yang masih digodok oleh DPR RI, apa harapan anda untuk materi RUU dan target penyelesaian?
Revisi UU Penyiaran No 2 Tahun 2002 sudah lama diharapkan oleh pelaku industri penyiaran dan akademisi, soalnya UU Penyiaran kita sudah berusia lebih dari 20 tahun. Banyak sekali perkembangan teknologi yang belum diakomodir oleh UU ini. Ada juga platform media baru yang tidak diatur oleh UU Penyiaran. Kecepatan perkembangan teknologi tidak diimbangi dengan kecepatan hadirnya regulasi yang selaras.
Kami juga berharap dalam UU Penyiaran yang baru nanti KPI bisa diberi mandat lebih, agar lembaga ini makin kuat dan bisa menjalankan tugasnnya dengan baik. Saya dengar draft RUU Penyiaran sudah di badan legislasi, semoga dalam masa tugas DPR RI yang tak lama lagi akan berakhir bisa dituntaskan.
Ubaidillah dan Tradisi Ziarah yang Tak Pernah Lekang
Lahir dan besar di lingkungan dan budaya nahdliyin membuat Ketua KPI Ubaidillah tak pernah melupakan akarnya. Salah satu yang masih kerap dilakoninya adalah tradisi ziarah ke pusara para tokoh dan sesepuh di daerah saat melakukan kunjungan kerja. Ada sejarah dan semangat yang bisa dipetik dan diimplementasikan di zaman sekarang dari ziarah yang dilakukannya.
Pria kelahiran Lamongan, Jawa Timur 1 Januari 1981 ini sadar benar setelah mendapat amanat untuk menjadi komisioner di KPI ia harus mencurahkan sebagian besar waktunya untuk aktivitas yang berhubungan dengan tugasnya.
Namun sebagai warga NU ia juga masih bisa terlibat dalam kegiatan yang dilakukan oleh ormas-ormas NU, bahkan di tengah kesibukan di KPI ia masih bisa memberikan sumbang saran dan pemikiran untuk organisasi.
“Saat saya sudah memilih untuk menjadi komisioner KPI saya harus komit dengan pilihan itu. Meski sebagian besar waktu tersita saya masih bisa menyisihkan perhatian untuk organisasi sosial dan keagamaan di lingkungan NU,” kata Ubai yang membaca buku, menonton film dan bercengkrama dengan keluarga untuk melepas kejenuhan dari rutinitas di kantor.
Ketika ia bertugas ke luar kota, usai tugas utama ia tak lupa bersilaturahim dengan sesepuh yang ada di wilayah yang dikunjunginya. Lalu berziarah ke pusara para tokoh yang sudah membaktikan jiwa dan raganya untuk masyarakat di sana.
“Saya ini lahir dan besar di lingkungan nahdliyin, ada tradisi yang sudah sejak dulu saya lakoni yaitu silaturahim kepada yang masih hidup dan berziarah kepada tokoh yang sudah mendahului kita dan menyambangi peninggalan bersejarah. Saya tanya ke teman-teman di sana, di mana makam sesepuh atau masjid kuno yang bisa dikunjungi,” katanya pria bernama lengkap Ubaidillah Sadewa ini.
Apa manfaat yang bisa dipetik dari melakukan silaturahim dan ziarah ini? “Ziarah itu seperti men-charge diri dan sekaligus penghormatan pada leluhur yang sudah berjuang demi masyarakat, bangsa dan negara,” kata alumni S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta dan S2 program Studi Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup di Universitas Negeri Jakarta.
Saat bertemu dengan juru kunci makam atau keturunan dari tokoh yang dia ziarahi makamnya, Ubai mendapat cerita soal perjuangan sang tokoh. “Orang zaman dahulu dengan segala keterbatasan yang dimiliki bisa berjuang dan memaksimalkan potensi yang ada. Sedangkan kita tinggal melanjutkan dengan fasilitas yang lebih memadai kadang semangatnya kurang. Kita jadi merefleksi diri setelah mengetahui itu semua,” lanjut Ubai yang semasa mahasiswa aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Jaga Kesehatan
Bagi Ubaidillah olahraga adalah hal penting, setelah kebutuhan kebutuhan pokok terpenuhi. Untuk menjaga kesehatan ia melakukan olahraga di rumah dan kali lain saat waktunya lebih longgar ia akan menikmati olahraga di luar rumah bersama keluarga.
“Saya biasanya di rumah bersepeda statis sebelum ke kantor selama 30 menit. Saat akhir pekan atau hari libur jalan pagi di area car free day bersama anak dan istri. Saat ke luar kota pun saya usahakan untuk gerak badan dengan menggunakan apa yang ada di tempat menginap. Kalau tidak ada, ya jalan pagi. Ketika olahraga rutin kita lakukan, kita sendiri yang akan menikmati hasilnya,” kata pria yang aktif di Kyai Abdul Wahab Chasbullah Foundation (KWF), Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim PBNU (LPBI-NU).
Menurut Ubai berolahraga itu butuh komitmen dan konsistensi. “Awalnya memang harus dipaksa agar bisa komit dan konsisten, lama-lama kalau sudah menjadi kebiasaan ada yang hilang kalau olahraga tidak dilakukan,” begitu dia berbagi tips untuk rutin berolahraga.
Ia bersyukur sampai saat ini masih bebas mengonsumsi makanan apa pun yang halal dan baik. “Alhamdulillah hingga saat ini saya belum dilarang dokter untuk menyantap makanan apa pun, pokoknya yang halal saya santap saja. Tapi memang tidak boleh lupa diri, kalau sudah kenyang berhenti,” lanjutnya.
Kebersamaan dengan Anak
Meski hari-harinya disibukkan dengan kegiatan di KPI, organisasi sosial dan keagamaan, Ubaidillah tetap memperhatikan keluarga. Terutama untuk tumbuh kembang anaknya.
“Dalam sepekan saya upayakan bisa mengantar anak saya yang masih TK ke sekolahnya. Untuk yang balita, sebelum berangkat ke kantor saya sapa dan begitu juga setelah pulang ke rumah,” ujar Ubai yang saat libur akhir pekan atau libur nasional akan menghabiskan waktu bersama keluarga kalau tak ada tugas.
Komunikasi adalah kunci bagi Ubai dalam menjaga hubungan dengan istri dan anak-anak. “Kalau tiba-tiba istri minta jemput anak pulang sekolah saya lihat kondisi, kalau memungkinkan ya jemput. Soalnya jarak kantor dengan sekolah dan rumah kami relatif dekat. Tapi itu tidak wajib, kalau memang tak bisa, ya istri akan mengambilalih,” lanjut Ubai yang pernah menjadi Pemimpin Redaksi Buletin Lingkar News pada tahun 2000, lalu ia dipercaya menjadi Pemimpin Redaksi Buletin Jum’at Al-Tasamuh dan menjadi tim Redaksi Buletin Suara Fatayat.
Sebelum anaknya berangkat ke sekolah Ubai sedapat mungkin menemaninya menonton televisi. “Saat itu saya yang tidak banyak tahu tentang tokoh dalam tayangan yang anak saya saksikan malah dikasih tahu. Ada yang bandel dan ada yang baik. Ya sudah saat itu saya bilang, jangan dicontoh untuk si bandel dan seterusnya. Yang penting quality time, soalnya saya sadar tak punya banyak waktu untuk bersama anak,” kata Ubaidillah menyudahi perbincangan.
"Soal keberimbangan itu yang penting semua paslon diberitakan sama durasinya. Patokan lainnya adalah tone-nya. Kalau paslon satu diberitakan positif yang lain juga begitu. Sebaliknya kalau negatif. Bukan yang satu diberitakan positif, dan paslon lain diberitakan negatif. Meski sama porsi dan durasi pemberitaan namun tone-nya beda, itu juga tidak adil,"