Emiten-emiten di Indonesia Masih Rapuh Pascapandemi COVID-19
JAKARTA - Perusahaan jasa konsultansi strategi global yaitu Alvarez & Marsal (A&M), meluncurkan laporan A&M Distress Alert (ADA) menyebutkan emiten-emiten di pasar modal Indonesia masih mengalami tekanan setelah pandemi COVID-19.
Adapun sektor pertambangan dan ritel paling mengalami tekanan.
Laporan tersebut berdasarkan anlisa dari emiten- emiten yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang berdasarkan laporan kinerja keuangan masing-masing, yang memiliki pendapatan tahunan lebih dari 50 juta dolar AS pada 11 sektor industri.
Indikator yang digunakan adalah 17 indikator kinerja utama (KPI) untuk menilai ketahanan neraca keuangan dan pendapatan perusahaan, mengidentifikasi perusahaan yang sedang atau akan mengalami tekanan keuangan.
Managing Director A&M Alessandro Gazzini mengatakan berdasarkan hasil riset ADA menunjukkan, 19 persen perusahaan membutuhkan peningkatan kinerja keuangan, 9 persen perlu mengatasi kinerja operasional, dan 14 persen membutuhkan perbaikan secara simultan pada kedua area tersebut.
"Di sisi lain, sebanyak 44 persen dari emiten memiliki peluang besar untuk melakukan perbaikan," ungkapnya Kamis 18 Januari.
Alessandro menyampaikan situasi keuangan emiten di Indonesia belum kembali ke tingkat sebelum pandemi COVID-19, dan bahkan pemulihan cenderung terlihat lambat.
Menurutnya, terdapat lebih dari 44 persen perusahaan yang mengalami kesulitan pada 2022, dengan hanya 32 persen yang kembali ke status semula seperti sebelum pandemi.
"Hal ini berbanding terbalik dengan negara yang ekonominya lebih maju seperti Inggris, dimana hanya 24 persen perusahaan yang masih dalam kondisi tertekan dalam kurun waktu tiga tahun, dan 65 persen diantaranya telah kembali ke status semula," ujar Alessandro.
Faktor utama yang menyebabkan tekanan ini berasal dari pelemahan neraca keuangan dan struktur modal bukan karena gangguan dalam kinerja operasional.
Secara khusus, sebanyak 22 persen perusahaan mengalami tekanan pada tahun 2022 memiliki skor ketahanan neraca rendah tiga tahun sebelumnya.
“Suatu tren yang menjadi lebih khawatir dengan kondisi suku bunga tinggi saat ini, yang menimbulkan tantangan serius bagi perusahaan untuk mendapatkan pembiayaan baru,” kata Alex
Selain itu, dalam laporan analisis ADA menunjukkan adanya tekanan di seluruh industri, terutama di sektor pertambangan logam & non-batubara, ritel & transportasi, dan infrastruktur & konstruksi yang paling rentan.
Menurut data per Juli 2022-Juni 2023, sebanyak 25 persen dari seluruh emiten di Indonesia merupakan emiten di sektor pertambangan logam turun 150 persen sejak 2021.
"Tingkat kesulitan (di sektor pertambangan) masih tinggi dimana perusahaan sebagian besar menghadapi buruknya alokasi modal untuk ekspansi dan diversifikasi produk atau inefisiensi operasional termasuk tingginya biaya bahan baku," jelasnya.
Sementara itu, sebanyak 20,8 persen dari total perusahaan yang terdaftar di BEI yang berasal dari sektor retail telah turun 25 persen.
"Hal ini menunjukkan adanya dikotomi dalam strategi penetapan harga, di mana strategi dan proses penetapan harga yang kuat dan efektif dapat menentukan keberhasilan atau kehancuran perusahaan ritel di lingkungan pascapandemi," kata dia.
Kemudian sektor barang konsumsi dan bahan kimia dan material cenderung memburuk dan tertekan selama dua tahun terakhir.
Baca juga:
Sementara sektor pertanian, pertambangan batu bara dan energi, komunikasi dan teknologi informasi, serta kesehatan mencatat tingkat tekanan yang rendah dengan tren pemulihan yang signifikan.
"Analisis ADA kami menunjukkan bahwa banyak perusahaan mungkin akan memasuki periode pergolakan restrukturisasi,” pungkas Alex.