Biar Lebih Lincah Gibran Usul Badan Penerimaan Negara, Akademisi Ungkap Manfaatnya
JAKARTA - Isu membentuk badan khusus penerimaan negara kembali mencuat setelah calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, melontarkan hal tersebut dalam Debat Pilpres 2024 yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum lama ini. Gagasan tersebut dinilai bisa meningkatkan pendapatan negara.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Brawijaya (UB) Malang, Hendi Subandi mengatakan, rencana ini sebenarnya bukan hal baru. Rencana Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menjadi badan otonom langsung di bawah presiden sudah menjadi pembahasan beberapa tahun lalu. Musababnya, pajak sangat berkontribusi pada pembangunan negara dengan persentase lebih dari 70 persen.
"Dengan kontribusi yang besar ini, tidak bisa lagi (DJP) tergantung di kementerian atau lembaga, karena akan repot pergerakannya. DJP bisa berada di luar kementerian tapi harus ada majelis atau pihak yang mengontrol sebagai pengawas," kata Hendi dalam keterangannya, Jumat 29 Desember.
Menurutnya, saat ini efektivitas DJP sudah berjalan baik dalam meningkatkan pendapatan negara. Dalam 10 tahun terakhir, angka penerimaan pajak negara naik sebelum adanya pandemi COVID-19.
Dia menjelaskan, pada tahun 2014 penerimaan negara mencapai Rp985,1 triliun atau 91,9 persen dari target Rp1.072 triliun, 2015 realisasi penerimaan Rp1.055 triliun atau 81,5 persen dari target, 2016 sebesar Rp1.283 triliun atau 83,4 persen, 2017 capai Rp1.147 triliun 89,4 persen, 2018 sebesar Rp1.315,9 triliun atau 92 persen, 2019 capai Rp1.332,1 triliun atau 84,4 persen dari target.
Sedangkan pada 2020 saat pandemi COVID-19 mulai menyerang, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp1.070 triliun atau 89,3 persen, pada 2021 capai Rp1.278,6 dan pada 2022 mencapai Rp1.716,8 triliun
Meski capaian ini terbilang baik, kata Hendi, kinerja DJP sebenarnya bisa bergerak lebih cepat ketika berdiri sendiri. Saat ini, karena DJP berada di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu), ketika ada kebutuhan seperti penambahan sumber daya manusia (SDM), anggaran atau birokrasi lainnya tidak bisa langsung dilaksanakan.
Padahal DJP memiliki tugas berat untuk menjaga penerimaan negara tetap tercapai sehingga mampu mencukupi APBN setiap tahunnya. "Maka harapannya memang bisa dipisah agar lebih lincah," ujar Hendi.
Khusus peleburan dengan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC), Hendi menyebut hal ini bisa dilakukan karena direktorat ini kinerjanya mirip dengan DJP. Artinya, ketua ditjen tersebut sebenarnya bisa berada dalam satu rumah, baik itu di Badan Penerimaan Negara (BPN) atau badan apapun yang dibentuk pemerintah.
Dia menuturkan, tantangan untuk mewujudkan kebijakan ini adalah peleburan harus bisa dibuat lebih lembut, karena biasanya peleburan akan menimbulkan friksi. Misalnya, dalam pembagian kinerja, komposisi SDM, aset, atau tugas pokok masing-masing harus bisa dijabarkan secara detail. Ketika semua hal rumit ini terurai dengan baik, maka tata kelola penerimaan negara lewat DJP dan DJBC dipastikan bisa lebih optimal.
Baca juga:
Persoalan non-teknis untuk mendirikan badan penerimaan pajak, atau badan apapun yang meleburkan antara DJP dengan DJBC, adalah komitmen politik. Hendi berpesan, jangan sampai ada marwah kementerian yang tercoreng karena kebijakan ini.
"Karena isu pajak ini selalu sensitif, maka harus ada keputusan politik yang tepat sehingga penerimaan negara bisa meningkat," pungkasnya.
Sebelumnya, cawapres Gibran Rakabuming Raka sempat menjanjikan DJP dan DJBC akan dilebur menjadi Badan Penerimaan Negara (BPN) jika dirinya dan calon presiden (capres) Prabowo Subianto menang Pilpres 2024. Gibran mengatakan, dua lembaga tersebut jika dilebur nantinya hanya mengurusi penerimaan, tak lagi mengurusi pengeluaran negara.
"Kita bentuk Badan Penerimaan Pajak, dikomandoi langsung presiden dan dikoordinasi kementerian terkait. Jadi DJP dan bea cukai akan dilebur jadi satu, sehingga fokus dalam penerimaan negara saja," kata Gibran saat Debat Cawapres 2024 di JCC Senayan, Jakarta, Jumat 22 Desember.