Kaleidoskop 2023, Refleksi Kepemimpinan Presiden Jokowi: Dianggap Haus Kekuasaan, Kebaikannya Dilupakan
JAKARTA – Presiden Joko Widodo atau Jokowi mendapat citra negatif menjelang akhir periode kepemimpinannya, karena dianggap menghalalkan berbagai cara demi melanggengkan kekuasaan.
“Kekuasaan sifatnya menggoda, sehingga siapa pun yang pernah berkuasa pasti akan melakukan berbagai cara untuk melanggengkan kekuasaannya,” kata Yayan Hidayat, Direktur The Strategic Research and Consulting.
Rentetan putusan lembaga hukum di Indonesia menjelang Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024) ditengarai untuk memuluskan ambisi Jokowi memperpanjang kekuasaannya di Tanah Air.
Sehingga, citra positif yang dibangun mantan Wali Kota Solo ini menjadi tak nampak akibat ambisi Jokowi yang enggan melepaskan kekuasaannya.
Dikenal Berpihak pada Rakyat
Jauh sebelum menduduki kursi RI 1, Jokowi merupakan pengusaha mebel di kampung kelahirannya, Solo. Karier organisasi profesionalnya dimulai dengan menjadi Ketua Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Komda Solo Raya pada tahun 2002.
Sepak terjang Jokowi mengurusi asosiasi yang bergerak di industri perkayuan dan kerajinan justru menjadi pembuka jalan dia terjun ke dunia politik. Para pengusaha mebel menginginkan Jokowi maju sebagai salah satu calon dalam Pilkada Solo 2005. Alasannya sederhana, mereka ingin Solo dipegang pengusaha, bukan kalangan militer maupun birokrat.
Ternyata, Jokowi juga didukung oleh sejumlah tokoh masyarakat untuk maju menjadi calon wali kota.
“Tokoh-tokoh masyarakat itu menilai Pak Jokowi orangnya menonjol, sederhana, enggak ambisi, rendah hati, dan lain sebagainya. Mereka menganggap figur ini pas untuk kultur Solo,” kata David R Wijaya, teman Jokowi saat menjadi pengusaha mebel di Solo.
Singkat cerita, Jokowi berhasil memenangkan Pilkada Solo dengan PDIP sebagai kendaraan politiknya. Dari sana, nama Jokowi makin besar. Ia kemudian terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017. Namun belum selesai masa jabatannya di ibu kota, PDIP mengusung pria kelahiran 21 Juni 1961 ini sebagai calon presiden mereka pada Pemilu 2014.
Walau tak punya banyak pengalaman di gelanggang politik, Jokowi punya pendukung militan. Ia dianggap berbeda dari pemimpin-pemimpin sebelumnya. Jokowi dinilai sebagai figur yang mewakili rakyat kecil, sehingga diyakini bakal membela kepentingan rakyat.
Dua pemilu terakhir berhasil dimenangkan Jokowi berkat citranya yang dekat dengan rakyat.
Namun, image tersebut perlahan terkikis, khususnya di tahun ini, menjelang pilpres yang akan diselenggarakan 14 Februari 2024.
“Awalnya masyarakat sangat percaya, menaruh harapan pada Jokowi, karena Jokowi terlihat benar-benar memperjuangkan rakyat,” kata Herman Jayadi, Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) PKC Bali dalam webinar Evaluasi Pemerintahan Jokowi dan Netralitas Polri dalam Situasi Politik Dinasti pada 11 Desember lalu.
“Tapi hari ini bukan lagi menjadi harapan rakyat, dan ini meninggalkan kisah yang buruk terhadap masyarakat Indonesia,” imbuhnya.
Enggan Melepaskan Kekuasaan
Puncak kekecewaan publik terhadap Jokowi tentu saja bermuara pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada pertengahan Oktober 2023. Saat itu, MK mengabulkan gugatan mengenai batas usia Capres dan Cawapres menjadi minimal 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui Pemilu.
Putusan tersebut dituding untuk memuluskan ambisi Jokowi memajukan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, untuk maju sebagai Cawapres Prabowo Subianto. Gibran saat ini masih berusia 36 tahun, tapi dia memiliki jabatan sebagai Wali Kota Solo.
Gara-gara putusan MK pula, hubungan Jokowi dan partai pengusungnya, PDIP, memanas. Relasi Jokowi dengan Megawati Soekarnoputri disebut-sebut tidak lagi harmonis. Meminjam istilah pengamat politik Andriadi Achmad, bulan madu Jokowi dan PDIP ini sudah selesai.
Ketika Gibran akhirnya resmi didapuk sebagai Cawapres Prabowo, publik pun mempertanyakan netralitas Jokowi pada Pilpres nanti. Apalagi saat Hari H, Jokowi masih menjabat sebagai presiden sehingga netralitasnya diragukan.
Ketidaknetralan Jokowi sebagai orang nomor satu di Indonesia bahkan sudah terlihat tanda-tandanya sejak dini. Contohnya adalah ketika terjadi penurunan baliho maupun spanduk pasangan Capres-Cawapres Ganjar Pranowo-Mahfud MD di Bali dan beberapa daerah lain beberapa waktu lalu.
Kepolisian juga dituding melakukan intimidasi saat menyambangi markas PDIP Solo. Selain itu, Ketua BEM UI, Melki Sedek Huang juga merasa ada intimidasi terhadap dirinya seusai melakukan protes atas putusan MK mengenai batas usia Capres-Cawapres.
“Presiden Jokowi tidak pro kepada rakyat di akhir era. TNI, Polri seharusnya menjadi penanganan pemilu, tapi malah jadi pemenangan pemilu,” tegas M Tarmizi, selaku Ketua PMII KCP Sumatera Utara.
Dalam kesempatan yang sama, Herman Jayadi menyayangkan manuver politik Jokowi yang menurut dia memperburuk citra yang telah dibangun Sang Presiden selama ini.
Herman menilai, masyarakat jadi melupakan kebaikan Jokowi selama menjabat hanya karena ulahnya yang terkesan enggan melepaskan kekuasaan.
Baca juga:
- Presiden Juga Manusia, Maka Netralitas Pemilu Mustahil Ada
- Kaleidoskop 2023: Putusan Mahkamah Konstitusi jadi Karpet Merah Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres
- Wakanda No More, Indonesia Forever: Menyoroti Janji Anies Baswedan Soal Kebebasan Berpendapat
- Kaleidoskop 2023: Megakorupsi BTS Rp8 Triliun dan Penangkapan Johnny G. Plate
“Jokowi ini sudah membangun Indonesia, tapi di akhir periode dia meninggalkan kisah yang tidak baik, karena Jokowi tidak ingin melepaskan kekuasaan begitu saja,” kata Herman.
“Keberhasilan positif Jokowi banyak, tapi tidak terlihat dengan apa yang dilakukan Jokowi hari ini,” ujar Herman lagi.