Pengungsi Rohingya: Bermasalah di Negara Asalnya, Indonesia Kena Getahnya

JAKARTA – Gelombang kedatangan pengungsi Rohingya di Indonesia menimbulkan polemik. Indonesia di satu sisi, sebenarnya tidak punya kewajiban menampung pengungsi, tapi di sisi lain negara ini merasa perlu mengedepankan kemanusiaan saat menghadapi pengungsi Rohingya.

Menurut United Nations High Commisioner for Refugees/UNHCR (Komisariat Tinggi PBB Urusan Pengungsi), sudah lebih dari 1.000 pengungsi Rohingya mendarat di Aceh sejak pertengahan November lalu. Meski awalnya kedatangan etnis Rohingya diterima dengan tangan terbuka, lama-lama penduduk setempat menolak kehadiran etnis asal Myanmar ini.

Sikap etnis Rohingya yang tidak berkelakuan baik, bahkan tidak patuh pada norma setempat membuat warga Aceh geram. Mereka mendesak agar pemerintah memulangkan warga Rohingya kembali ke negara asal.

Lalu, Bagaimana seharusnya sikap Indonesia terhadap pengungsi Rohingya ini?

Konvensi Pengungsi 1951

Divisi Keimigrasian Kemenkumham Aceh mengatakan, sebanyak 1.084 pengungsi Rohingya datang ke Tanah Rencong sepanjang November lalu, setelah terombang-ambing di lautan selama beberapa hari di atas kapal kayu.

Apa yang membuat pengungsi Rohingya berbondong-bondong menuju Aceh?

Wilayah Aceh yang terletak di jalur pelayaran merupakan asalah satu alasan mengapa provinsi tersebut sering didatangi oleh pengungsi Rohingya. Jalur maritim Aceh terhubung dengan Laut Andaman, jalur pelayaran para pengungsi Rohingya yang kabur dari Myanmar mengunakan perahu kayu.

Tak hanya faktor geografis, pengungsi Rohingya juga terkesan dengan penerimaan warga Aceh sehingga membuat mereka menyukai wilayah berjulukan Serambi Mekkah tersebut.

Menurut antropolog STAIN Teungku Dirundeng Meulaaboh, Tgk Muhajir Al-Fairus, kehadiran pengungsi Rohingya awalnya dimaknai sebagai soal kemanusiaan oleh masyarakat Aceh. Apalagi, masyarakat Aceh juga cukup menghormati tamu.

Warga Ladong berdiri di depan gerbang UPTD Rumoh Seujahtera Beujroh Meukarya Ladong Tuna Sosial di Gampong Ladong, Aceh Besar untuk menolak penempatan rohingya, di Aceh Besar, Senin (11/12/2023). (Antara/Khalis Surry)

Isu penindasan terhadap Rohingya di negara asal mereka membuat masyarakat Aceh bersimpati. Namun belakangan, rumor bahwa pengungsi Rohingya tidak menunjukkan sikap yang diharapkan membuat warga lokal berang.

Opini publik terhadap pengungsi Rohingya pun akhirnya terbagi menjadi dua. Sebagian enggan menerima lagi pengungsi Rohingya di Aceh, tapi tak sedikit pula yang merasa Indonesia perlu menjadi tempat yang aman bagi Rohingya.

Secara hukum, Indonesia sebenarnya tidak memiliki kewajiban menampung pengungsi dari luar negeri, termasuk etnis Rohingya, apalagi sampai memberikan solusi permanen.

Ini karena Indonesia tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951. Konvensi Terkait Status Pengungsi, yang juga dikenal sebagai Konvensi Pengungsi 1951, adalah sebuah perjanjian multilateral yang mendefinisikasi status pengungsi, dan menetapkan hak-hak individual untuk memperoleh suaka dan tanggung jawab negara yang memberikan suaka.

Pengungsi Rohingya berkumpul di Cox’s Bazar, Bangladesh pada 25 Agustus 2023. Mereka menuntut hak-hak seperti repatriasi yang bermartabat, kewarganeragaan, dan pekerjaan yang legal. (Antara)

Konvensi tersebut disetujui oleh sebuah konferensi istimewa PBB pada 28 Juli 1951.

Berbagai alasan dikemukakan mengapa Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951. Menurut pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran Teuku Rezasyah, Indonesia menolak menjadi negara tujuan pengungsi.

Selain itu, Teuku Rezasyah mengatakan kedatangan pengungsi Rohingya ke Indonesia sambil menunggu arahan UNHCR untuk dipindahkan ke negara maju. Dengan kata lain, Indonesia hanya menjadi tempat sementara bagi para pengungsi.

Minoritas Paling Menderita

Pendapat lain diungkap mantan Direktur Jenderal Hukum dan Perpanjian Internasional Kemlu RI Damos Dumoli Agusmaan. Di kanal YouTube Riksawan Institute pada 2020, Damos mengatakan Indonesia memiliki parameter sebelum meratifikasi sebuah perjanjian, yaitu aman secara politis, keamanan, yuridis, dan teknis.

“Konvensi ini belum memenuhi atau aman dari keempat itu,” tegas Damos tahun lalu.

Alasan terbesar Indonesia menerima pengungsi Rohingya adalah atas dasar kemanusiaan. Indonesia sendiri mengatur peneriman pengungsi melalui Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan bahwa pemerintah menampung sementara pengungsi Rohingya yang masuk ke wilayah Indonesia.

“Saya sampaikan bahwa sementara kita tampung,” tegas Jokowi, mengutip Antara.

Jokowi mengatakan, pemerintah Indonesia masih membahas solusi masalah penanganan pengungsi Rohingya dengan organisasi-organisasi internasional terkait, termasuk UNHCR.

“Kita masih berbicara dengan organisasi-organisasi internasional, UNHCR, dan lain-lain, karena memang masyarakat lokal tidak menginginkannya,” Jokowi menambahkan.

Nurul Amin, seorang pengungsi Rohingya di Cox's Bazar, Bangladesh yang merupakan penampungan pengungsi terbesar di dunia. (Ingebjørg Kårstad/NRC)

Sementara, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI, Lalu Muhamad Iqbal mengatakan masalah pengungsi Rohingya hanya bisa selesai ketika akar masalah konflik di Myanmar selesai juga. Sayangnya hingga saat ini, etnis Rohingya justru tidak mendapat tempat di Myanmar.

"Mengenai masalah Rohingya, Indonesia menegaskan bahwa yang harus diselesaikan adalah akar masalahnya adalah konflik di Myanmar yang hingga saat ini belum selesai," kata Lalu di Kementerian Luar Negeri, Selasa (12/12/2023).

"Indonesia akan melakukan semua kemampuannya untuk membantu agar konflik di Myanmar dapat segera diselesaikan dan demokrasi segera dipulihkan," ujarnya. 

Etnis Rohingya di Myanmar harus mengungsi menyusul persekusi yang dilakukan militer di negara tersebut. Sejak Myanmar menerbitkan Undang-Undang tentang Kewarganegaraan Myanmar atau Burma Citizenship Law 1982, etnis Rohingya terlunta-lunta, karena dalam aturan tersebut mereka tidak diakui sebagai salah satu etnis di Myanmar.

Etnis Rohingya tidak memiliki kewarganegaraan dan dianggap sebagai imigran gelap oleh pemerintah Myanmar. Mereka tidak memiliki hak mendapatkan pendidikan, pekerjaan, dan kesehatan. Mereka juga rentan akan kekerasan seksual, pelecehan, dan eksploitasi.

Mengutip situs UNHCR, pada Agustus 2017 terdapat serangan bersenjata, kekerasan berskala besar, dan pelanggaran HAM serius di Rakhine, tempat di mana etnis Rohingya bermukim. Peristiwa ini menelan ratusan ribu jiwa, termasuk anak-anak.

Momen ini sekaligus menjadi titik balik yang memaksa ribuan warga Rohingya melakukan eksodus ke negara-negara tetangga. Tercatat hampir satu juta orang menuju Bangladesh dan mayoritas tinggal di wilayah Cox Bazar, lokasi kamp pengungsian terbesar di dunia. PBB bahkan menggambarkan etnis Rohingya sebagai "minoritas paling teraniaya di dunia.”