Bagaimana Globalisasi Mengubah Pola Terorisme
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi III Adies Kadir mencecar Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Suhardi Alius mengenai masalah pencegahan aksi teror. Adies mempertanyakan, mengapa BNPT selalu menunggu jatuhnya korban untuk menangkap jaringan terorisme.
"Kemudian tadi disampaikan bapak kepala BNPT sudah bunyi (terdeteksi) baru dikejar. Ini kan jadi pertanyaan pak. Kenapa bunyi dulu baru dikejar? tunggu korban dulu? Kenapa kok menunggu ada korban dulu baru dikejar?," tanyanya dalam rapat dengar pendapat, di Komisi III, Gedung DPR, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 20 November.
"Padahal setelah kejadian, kita tahu persis langsung itu ada jaringannya. Apa dan di mana. Ini kan saudara sudah tahu ini barang kenapa tidak dicegah dulu?," sambung Adies.
Politisi Partai Golkar ini mengungkap, selama ini banyak pertanyaan dari masyarakat yang masuk ke komisinya. Bagi masyarakat awam, kata Adies, mereka merasa aksi teror terjadi secara tiba-tiba. Sehingga, pihaknya menilai perlu mengetahui bagaimana BNPT melakuan deteksi dini jaringan atau potensi teror tersebut.
"Tadi disampaikan juga kategorinya sedang trennya menurun. Tapi kenyataanya jaringannya semakin banyak. Kecil-kecil tumbuh menjamur. Kita khawatir dengan bermunculan ini trennya akan naik," tuturnya.
Menurut Adies, potensi aksi teror di Indonesia untuk meningkat sangat tinggi. Sebab, saat ini trennya berada di posisi sedang. "Berarti lampu kuning ini Pak kalau sedang. Ini menjadi perhatian pimpian (komisi)," ucapnya.
Menjawab pertanyaan Adies, Kepala BNPT Suhardi Alius mengatakan, pihaknya tidak abai dalam melakukan pencegahan aksi teror. Pihaknya juga sudah berupaya untuk mendekteksi dan melakukan antisipasi tumbuhnya jaringan terorisme. Namun, modusnya selalu berubah.
"Saat ini pola pergeseran tersebut terjadi karena globalisasi. Jadi memang modus itu bergerak secara dinamis. Bukan berarti tidak diantisipasi," ucap Suhardi.
Suhardi mengungkap, perkembangan teknologi saat ini menjadi media kelompok radikal dalam melakukan kominikasi secara online. Komunikasi yang dilakukan tidak hanya terdampak pada kelompok mereka, bahkan tidak menutup kemungkinan orang di luar kelompok juga terpapar.
BNPT mengawasi kelompok radikal terorisme melalui cyber patrol. Selain itu, kata dia, BNPT bekerja sama dengan Polri, BIN, TNI, Kemenkum HAM, PPATK, Kemensos, Kemenkominfo, Kemendagri, serta stakeholder terkait dalam rangka melakukan pencegahan.
"Mohon izin bapak jadi memang banyak sekali monitor kami cyber patrol. Tetapi mereka juga sudah lebih melihat, mereka tidak bunyi (terdeteksi) cyber patrol, begitu sudah kumpul baru mereka melakukan aksinya. Kalau sudah bunyi, pasti kita kejar," jelasnya
"Ini lah kenapa sampai kejadian-kejadian bermunculan. Tetapi setelah kejadian begitu yang tersambung dengan itu langsung ditangkap densus 88. Jadi kami memberikan finding di situ," tuturnya.