Gerakan Arab Spring Lengserkan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh dalam Memori Hari Ini, 23 November 2011

JAKARTA – Memori hari ini, 12 tahun yang lalu, 23 November 2011, Presiden Yaman, Ali Abdullah Saleh menandatangani surat pengunduran dirinya di Istana Kerajaan Arab Saudi, Riyadh. Gelombang protes Arab Spring ada di balik pelengseran Ali.

Narasi itu jadi kabar gembira bagi rakyat Yaman. Sebelumnya, Ali dianggap telah berkuasa terlalu lama. Pun tiada perubahan berarti dari era pemerintahannya. Represif pula. Boleh jadi ia mampu memukul mundur seluruh lawan politiknya, tapi tidak dengan gelombang protes Arab Spring.

Gerakan rakyat, apapun bentuknya senantiasa harus diwaspadai tiap pemerintahan di dunia. Sekali saja abai, gerakan rakyat dapat menjalar ke mana-mana. Gejolak revolusi Arab Spring, misalnya. Banyak pemimpin negara Timur Tengah tak menyangka Arab Spring efektif pada 2010-an.

Semuanya karena Arab Spring bermula dari gebrakan yang dibangun di media sosial. Gelombang gerakan perlawanan itu mulai melanggengkan narasi pro demokrasi di Timur Tengah. Mereka tak sudi lagi dipimpin oleh seorang diktator.

Kesesalan itu ditumpahkan di sosial media. Dari Twitter, Facebook, hingga Youtube. Nyatanya yang memiliki kekesalan serupa tak sedikit. Satu demi satu orang bergabung hingga bejibun. Mereka memutuskan untuk turun ke jalan. Itulah yang kemudian terjadi di Tunisia.

Ali Abdullah Saleh yang pernah menjabat sebagai Presiden Yaman era 1990-2012. (Wikimedia Commons)

Aksi demontrasi itu menelanjangi kesalahan pemerintah. Hasilnya gemilang. Rezim Presiden Zine El Abidine Ben Ali pun berhasil digulingkan pada Januari 2011. Keberhasilan gerakan di Tunisia menginspirasi rakyat di negeri Timur Tengah lainnya, Mesir hingga Libya.

Kedua pemimpin negara itu berhasilkan dilengserkan. Gelora Arab Spring kemudian menjalar ke rakyat Yaman. Mereka tak mau lagi dipimpin rezim diktator Ali Abdullah Saleh. Rezim itu dianggap rakyat Yaman banyak mudarat, ketimbang manfaatnya.

Aksi turun ke jalan pun jadi opsi. Pemerintah pun tak tinggal diam. Alih-alih mengajak demonstran berbicara baik, bedil militer justru yang angkat bicara. Rakyat Yaman pun jadi korban.

“Ali Abdullah Saleh adalah orang yang hampir tidak pernah berpisah dengan kekuasaan: hampir separuh hidupnya dihabiskan di atas kursi kepresidenan. Tidak terbiasa dengan kritik, apalagi yang disampaikan secara demonstratif, pada hari Jumat pertengahan bulan lalu, ia melakukan kesalahan fatal-sebagaimana yang telah diperbuat koleganya Presiden Ben Ali dari Tunisia, juga Muammar Khadafi dari Libya.”

“Hari itu ia ingin membuat perhitungan dengan para demonstran yang keras kepala. Sang presiden memerintahkan tentara memuntahkan peluru kepada kerumunan orang yang sedang menggelar demonstrasi yang tertib dan damai di Sana'a: 52 orang tewas, 100 lebih luka-luka,” terang Idrus F. Shahab dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Cerita Dua Negeri (2011).

Revolusi Arab Spring pertama terjadi di Tunisia, yang berhasil menggulingkan Presiden Zine El Abidine Ben Ali pada Januari 2011. Tampak demonstran di Tunis membawa poster dalam Bahasa Prancis bertuliskan "Ben Ali Enyah lah". (Wikimedia Commons)

Amarah rakyat Yaman sudah memuncak. Janji Ali untuk menaikkan gaji pegawai negeri, melonggar sensor, dan mereformasi demokrasi tak lagi didengar. Rakyat Yaman sepakat melengserkan Ali dari kuasanya. Mereka tak kuasa lagi hidup di bawah tekanan rezim represif.

Aksi demostrasi itu kian meluas. Nyawa Ali menjadi taruhannya. Narasi itu dilanggengkan karena kehadiran ledakan bom di Istana Kepresidenan Yaman. Ali mengalami cidera serius. Pun beberapa bulan setelahnya Ali mengaku menyerah.

Ia siap lengser dan menandatangani surat pengunduran dirinya di negeri pelarian, Arab Saudi pada 23 November 2011. Namun, Ali tetap akan berkuasa hingga pelantikan Presiden baru Yaman di Februari 2012.

“Setelah 33 tahun berkuasa, sembilan bulan protes jalanan yang menyerukan pengunduran dirinya dan berminggu-minggu dirawat di rumah sakit untuk memulihkan diri dari Serangan bom di istananya. Ali Abdullah Saleh dari Yaman akhirnya mengundurkan diri dari jabatan presidennya pada hari Rabu.”

“Apa sebenarnya yang mendorong Ali melakukan tindakan tersebut pada kesempatan ini masih belum jelas. Namun, nasib buruk Muammar Khadafi di Libya mungkin telah membantu memfokuskan pikirannya, seiring dengan tekanan internasional,” terang Brian Whitaker dalam tulisannya di laman The Guardian berjudul Yemen's Ali Abdullah Saleh Resigns – But It Changes Little (2011).