Ancaman PHK di Balik Seruan Boikot Produk Israel, Pikirkan Masak-masak Sebelum Bertindak
JAKARTA – Seruan untuk memboikot produk yang terafiliasi dengan Israel menggema di seluruh penjuru negeri. Tapi di sisi lain, tak sedikit pula pihak-pihak yang menyuarakan hal berbeda. Ada kekhawatiran ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) di tengah aksi yang dilatarbelakangi misi kemanusiaan tersebut.
Eskalasi serangan Israel terhadap kelompok militan Palestina, Hamas, yang sudah terjadi selama satu bulan lebih ini menimbulkan keprihatinan dari banyak kalangan. Serangan tersebut telah menelan 11 ribu korban jiwa.
Geram dengan Israel yang tidak juga mengindahkan seruan untuk gencatan senjata, masyarakat di dunia kemudian menyuarakan aksi boikot terhadap produk atau merek yang dianggap terafiliasi dengan Israel sebagai bentuk kepedulian terhadap warga Palestina, khususnya yang tinggal di kawasan Gaza.
Boikot atau secara garis besar disebut gerakan BDS (Boikot, Divestasi, dan Sanksi) bertujuan untuk menekan Israel di sektor ekonomi dan politik supaya pendudukan di Palestina bisa berakhir.
Namun di tengah derasnya aksi boikot yang dikampanyekan melalui media sosial, tidak sedikit pula masyarakat Indonesia yang menjerit. Aksi ini dikhawatirkan akan membuat sebagian orang kehilangan pekerjaan.
Potensi PHK
Maraknya seruan boikot mendorong Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengimbau masyarakat Muslim khususnya untuk menghindari transaksi dan penggunaan produk pendukung Israel. Rekomendasi tersebut tertuang dalam Fatwa MUI Nomor 28 Tahun 2023 tentang Hukum Dukungan terhadap Perjuangan Palestina.
Restoran cepat saji McDonald’s, kedai kopi Starbucks, dan produk-produk Unilever termasuk tiga perusahaan yang paling sering masuk daftar boikot yang tersebar di berbagai platform media sosial. Masyarakat menilai ketiga produk tersebut mendukung tindakan Israel melancarkan serangan ke Palestina.
Tanpa bermaksud mengecilkan upaya masyarakat yang ingin menghentikan pendudukan Israel di Palestina, aksi boikot sedianya memperhatikan aspek aspek lain. Apalagi jika ancamannya adalah terjadinya PHK dari perusahaan yang dianggap terafiliasi dengan Israel.
Hal ini diungkapkan Sekretaris Jenderal Asosiasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Edy Misero. Menurut dia, aksi boikot akan efektif jika penolakan dilakukan terhadap produk impor yang memang didatangkan langsung dari Israel. Tapi saat boikot dilakukan untuk sektor jasa atau restoran yang beroperasi di Indonesia, justru ada potensi menghambat pertumbuhan kinerja pengusaha lokal.
”UMKM yang menyalurkan daging ayam, bubuk kopi, kentang, cabai, dan lain sebagainya untuk merek restoran yang dianggap terafiliasi dengan Israel akan ikut terkena imbas boikot. Artinya, dampak boikot juga dirasakan pelaku ekonomi lokal," ujar Edy.
Senada, Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga Asosiasi Penguasaha Indonesia (Apindo) Sarman Simanjorang mengatakan, aksi boikot perlu disikapi secara bijak. Sebagai negara berkembang dengan jumlah tenaga kerja yang banyak, aksi boikot di Indonesia menurut Sarman akan berdampak langsung pada sektor tenaga kerja.
”Intinya, masyarakat harus lebih jeli sebelum melakukan boikot agar sasaran tujuan dari aksi bisa tercapai,” ujarnya.
Peluang Bagi UMKM
Kendati banyak pihak yang mencemaskan adanya kemungkinan gelombang PHK menyusul gerakan boikot di Indonesia, Ketua Umum Asosiasi Industri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Akumandiri) Hermawati Setyorinny melihat aksi ini justru bisa menjadi momentum dan peluang bagi UMKM untuk memanfaatkan situasi.
Dalam situasi seperti ini, UMKM seharusnya bisa mengambil pasar yang selama ini dimainkan oleh produk impor.
”Sebenarnya ini juga menjadi kesempatan pelaku UMKM ambil bagian. Saat ini yang terkena dampak atas boikot tersebut adalah pengusaha importir atau pedagang yang menjual produk impor,” ujarnya.
Gerakan boikot terhadap produk yang terafiliasi dengan Israel sebenarnya bukan kali ini terjadi. Hampir di setiap adanya gesekan antara Israel dan Palestina, aksi boikot selalu menggema. Tapi ujung-ujungnya, aksi boikot lenyap begitu saja.
Kampanye BDS terhadap Israel juga sebelumnya lahir pada Juli 2005. Saat itu, kampanye ini dikoordinasikan oleh Komite Nasional BDS Palestina (BNC). Gerakan ini mendapat atensi luas di seluruh dunia dan dianggap sebagai satu-satunya jalan untuk melawan Israel.
Meski sempat diabaikan oleh Israel dan sahabatnya, Amerika Serikat, propaganda BDS pelan tapi pasti berhasil membuat Israel ketar-ketir. Karena lewat gerakan BDS itu, Israel, Zionisme, Yahudi, dan AS memiliki citra buruk di mata dunia.
"Gerakan BDS telah berhasil menembus perbincangan politik global dan sukses menggambarkan Israel dan para pendukungnya sebagai negara yang layak mendapat delegitimasi dan isolasi di panggung dunia. Meskipun itu semua tak mengakibatkan pembentukan Palestina atau perbaikan nyata terhadap warga sipil," tulis Ellen Cannon dalam The BDS and Anti-BDS Campaigns.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menilai dampak boikot pruduk Israel terhadap ekonomi akan tergantung pada beberapa hal. Pertama seberapa luas aksi boikot dan sampai berapa lama seruan boikot terhadap produk tersebut berlangsung.
Sampai saat ini, Yose melihat aksi boikot tidak akan berdampak besar pada perekonomian Indonesia. Tapi, jika boikot berlangsung secara lama bahkan secara secara konsisten, maka perusahaan besar pun tidak akan sanggup bertahan.
Aksi boikot baru akan mengancam terjadinya PHK di suatu perusahaan jika terjadi selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, sesuatu yang tidak diyakini oleh Yose.
Baca juga:
“Kita harus melihat konsistensinya dulu. Saya tidak tahu apakah konsisten atau tidak,” kata Yose.
Berkaca pada pengalaman yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya, gerakan boikot seringkali tidak konsisten dan akhirnya hanya berlangsung selama beberapa waktu alias tidak terjadi secara terus menerus.
“Saya tidak melihat adanya hal yang membuat aksi boikot sekarang berbeda dengan aksi sebelumnya,” Yose menambahkan.