Judicial Review dari Pimpinan KPK Dapat Apresiasi dari Menko Polhukam
JAKARTA - Tiga pimpinan KPK Agus Rahardjo, Saut Situmorang, dan Laode M Syarif bersama pegiat korupsi lainnya, megajukan Judicial Review atau uji materi UU KPK yang baru disahkan tahun ini, ke Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu, 20 November.
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengatakan, langkah ini adalah hal yang baik untuk bersama menguji UU Nomor 19 Tahun 2019 itu.
"Bagus (pengajuan itu) biar nanti diuji di sana. Kan di situ akan bertemu pendapat antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lain. Kemudian perbedaan dengan pemerintah, kesamaan dengan pemerintah akan ketemu di sana," kata Mahfud kepada wartawan di Kantor Kemenkopolhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis, 21 November.
Sehingga, polemik terkait UU KPK baru yang dianggap melemahkan bisa segera diselesaikan di jalur konstitusi lewat ketukan Hakim Mahkamah Konstitusi. "Menurut saya bagus, tidak ada halangan hukum dan halangan konstitusi," ungkapnya.
Sedangkan untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) KPK, Mahfud masih dalam pendirian yang sama, menunggu putusan uji materi dari MK. "Kalau itu sudah jelas (menunggu putusan uji materi)," ujar yang pernah jadi Ketua MK.
Harapan pada Hakim MK
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana berharap, Mahkamah dapat memutuskan bahwa proses pembahasan dan pengesahan UU KPK bertentang dengan UUD 1945 sehingga harus dibatalkan dan dikembalikan ke UU KPK yang lama.
Apalagi, tambah dia, persoalan serius sebenarnya bukan hanya muncul pada ranah materi undang-undang melainkan saat proses pembahasan dan pengesahan UU KPK baru masalah sudah terjadi. Sebut saja permasalahan seperti UU KPK baru yang ternyata tak masuk dalam program legislasi nasional prioritas tahun 2019.
"Faktanya DPR tetap melanggar, UU KPK tetap dibahas dan disahkan pada September lalu," ujar Kurnia dalam pernyataannya.
Selain bukan undang-undang yang masuk Prolegnas 2019, kata Kurnia, undang-undang ini tidak kuorum. Apalagi, saat pengesahan dilakukan, anggota DPR RI yang hadir kurang dari 50 persen. Padahal, sebagai undang-undang yang menjadi sorotan banyak masyarakat, harusnya semua anggota Komisi III DPR RI bisa hadir saat pengambilan keputusan dilakukan.
Terakhir, ICW juga menyoroti tak diundangnya KPK saat proses pembahasan UU KPK berlangsung di DPR. "KPK adalah lembaga yang akan menjalankan UU a quo, harusnya lembaga antirasuah itu diundang dalam setiap tingkatan pembahasan," jelas Kurnia.
Beberapa hari lalu, Agus Rahardjo, Laode M. Syarif, dan Saut Situmorang mengajukan uji materi atau judicial review (JR) UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Ketiga Komisioner KPK ini mengajukan permohonan atas nama pribadi dan warga negara Indonesia. Total, ada 13 nama pemohon atas nama pribadi. Di antaranya juga ada mantan Komisioner KPK Mochammad Jasin dan Erry Riyana Hardjapamekas, serta sejumlah pegiat antikorupsi lainnya.
Dalam permohonan ini, mereka mengajukan uji materi secara formil, yakni pengujian terhadap proses pembentukan Undang-Undang. Secara garis besar, Laode mengungkapkan ada tiga poin yang taksejalan dalam syarat pembentukan UU dalam UU KPK.
Para komisioner KPK memosisikan diri sebagai pegawai KPK dan warga negara. Laode mengatakan, alasannya memosisikan diri sebagai pegawai KPK karena UU ini berpotensi menghambat kerja lembaga antirasuah itu. Sedangkan posisi warga negara karena Laode merasa kemiskinan di Indonesia meningkat karena banyaknya praktik korupsi.
"Yang punya legal standing yang paling utama kan di samping warga negara, yang berurusan langsung dengan UU KPK ini kan pegawai KPK. Oleh Karena itu, sebagai pribadi dan sebagai pegawai KPK kita berharap mahkamah memperhitungkan," ungkap Laode.