Permainan Politik Tepi Jurang Ala Jokowi
JAKARTA – Paman dari Gibran Rakabuming Raka akhirnnya resmi dicopot dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi. Anwar Usman yang juga adik ipar dari Joko Widodo diputuskan telah melakukan pelanggaran etik berat. Aksi Anwar Usman disebut-sebut sebagai korban yang 'tersenyum' di permainan politik tepi jurang ala Jokowi.
Banyak pihak yang memuji sosok Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai politisi ulung. Gaya berpolitiknya yang sulit ditebak dan sarat simbol membuat lawan dan kawannya di dunia politik dipaksa untuk tundukkan kepala. Dan apakah strategi politik di Pilpres 2024 merupakan panggung kontestasi semu yang sudah diatur sutradara terbaiknya? tanpa ada satu pun yang berani mengangkat kepala untuk membaca skenario buatan tersebut.
Skenario yang dengan sadar menyeret kekuasaan yudikatif ke tengah arena dunia politik praktis. Lalu, apakah situasi politik saat ini memang benar menempatkan Jokowi di tepi jurang?
Selasa, 7 November, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang dipimpin Jimly Asshiddiqie akhirnya mencopot Anwar Usman dari jabatannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Ipar Presiden Jokowi itu diputuskan telah melakukan pelanggaran etik berat terkait keluarnya Putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden dan wakil presiden.
Selain dicopot dari jabatannya sebagai Ketua MK, Anwar Usman juga dilarang ikut mengadili sengketa pemilu, baik legislatif maupun presiden tahun 2024 bila berpotensi terjadi konflik kepentingan. Namun, MKMK tetap menegaskan bahwa Putusan No 90/2023 itu tetap berlaku meski dalam prosesnya ada pelanggaran etik berat yang dilakukan Anwar Usman.
Sanksi terhadap Anwar Usman ini tak lepas dari munculnya kontroversi akibat Putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 yang dianggap memuluskan keponakannya, Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal cawapres mendampingi Prabowo Subianto di Pilpres 2024.
Baca juga:
Ketua Majelis Pertimbangan Partai (MPP) PPP, Muhammad Romahurmuziy menilai bahwa apa yang terjadi di MK merupakan salah satu dari permainan politik di tepi jurang yang dilakoni oleh Jokowi. Menurutnya, ada ciri khas dari permainan politik yang dilakukan mantan Gubernur DKI Jakarta itu. Pertama, Jokowi sebagai sutradara, penulis skenario dan sekaligus aktor.
“Beliau itu sutradara, penulis skenario, sekaligus aktor. Jadi tingkat deviasainya itu rendah sekali. Gimana coba kalau kita sutradara, penulis, skenario sekaligus kita yang memainkan, itu kan nggak ada salahnya dalam memerankan,” ungkap Romy, Selasa 7 November.
Ciri kedua, Romy menganalogikannya sebagai lampu sen dalam sebuah kendaraan. Menurutnya, Jokowi sering kali menyalakan lampu sen kanan tapi berbelok ke kiri, begitupun sebaliknya. “Artinya kalau kita membaca langkah politik beliau itu tidak boleh langkah demi langkah, tapi harus fragmen yang utuh karena cerita itu belum berakhir,” imbuhnya.
Dia mencontohkan ketika salah satu pilkada, semua partai nasional ketua umumnya berkumpul untuk mendukung calon tertentu. Tapi pada akhirnya ternyata ada perubahan yang tidak semua diberi tahu. “Sein yang diberikan kepada kita belok kanan tapi kok belok kiri, misalnya. Tapi itulah keunikan Pak Jokowi dan kepiawaian, kalau orang bilang lihai,” tuturnya.
Jokowi Kerap Bermain di Tepi Jurang
Ciri terakhir yakni Jokowi selalu bermain di pinggir jurang. Jadi, kata Romy, pihak-pihak yang salah mengikuti langkah Jokowi atau tidak hati-hati, berpotensi terjerembab ke jurang. “Ciri ketiga beliau itu bermain selalu di pinggir jurang, jadi melangkah itu di pojok pojok. Kalau orang salah ngikutin, kita yang kecebur,” kata dia.
Dalam kasus di MK, Jokowi dianggap Romy sudah menyadari banyaknya resistensi baik dari kalangan akademisi maupun masyarakat umum. Mantan Wali Kota Solo itu juga disebut sadar jika apa yang terjadi di MK akan menggerus tingkat kepuasan publik yang selama ini di kisaran 70 hingga 80 persen.
Tapi tentu bukan Jokowi jika tidak punya jalan keluar. Romy mencontohkan, gelontoran dana BLT hingga Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) kepada masyarakat yang diperpanjang pemerintah hingga Maret 2024 mendatang bisa membuat tingkat kepuasan terhadap Jokowi kembali rebound.
“Jumlah masyarakat penerima bantuan itu jika dikonversi menjadi suara pada Pilpres 2024 akan signifikan. Tidak ada kontestan pemilu lain yang bisa meraup keuntungan dari sana kecuali yang mendapat dukungan dari Jokowi,” terangnya.
“Dari ketiga ciri khas gaya politik Jokowi tadi, mungkin kita bisa menduga bahwa di balik huru-hara MK barangkali bukan tujuan utama dari desain politik yang sedang dimainkan,” sambung Romy.
Belum lagi jika kita bicara hubungan antara Jokowi dengan PDI Perjuangan usai pencalonan Gibran. PDIP yang merasa kecewa dengan “pembangkangan” Gibran, mulai rajin “menyerang” Jokowi melalui pernyataan yang dilontarkan elite-elite partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu.
Posisi Jokowi Makin di Tepi Jurang?
“Puncak serangan” dari PDIP bisa dikatakan muncul dari Masinton Pasaribu yang lantang mengusulkan penggunaan Hak Angket DPR dalam menyikapi Putusan MK No 90/PUU-XXI/2023. Meski menegaskan usul Hak Angket itu tidak terkait dengan pencalonan Gibran, objek Hak Angket sesuai pasal 79 UU MD3 adalah pemerintah yang dianggap melanggar undang-undang.
Apalagi dengan keluarnya Putusan MKMK yang memutuskan Anwar Usman telah melakukan pelanggaran etik berat. Politisi dari Fraksi PPP, Syaifullah Tamliha menilai bahwa putusan MKMK bisa menjadi pintu masuk bergulirnya Hak Angket DPR.
Menurut dia, dasar pengajuan Hak Angket bisa dilakukan jika ditemukan pelanggaran kode etik terhadap Anwar Usman dalam memutus perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Posisi Anwar menjadi kontroversial karena merupakan paman dari Gibran Rakabuming Raka yang merupakan anak sulung Presiden Jokowi.
“Permainan” politik Jokowi dalam pencalonan Gibran kian di tepi jurang setelah MK akan menggelar sidang soal syarat usia capres-cawapres di bawah 40 tahun. Ada gugatan baru yang diajukan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Brahma Aryana.
Laman resmi MK menjadwalkan sidang Perkara Nomor 141/PUU-XXI/2023, yakni Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pada Rabu, 8 November, pukul 13:30 WIB.
Brahma yang memberikan kuasa kepada Viktor Santoso Tandiasa dan Harseto Setyadi Rajah berharap hanya gubernur yang belum berusia 40 tahun yang bisa maju capres/cawapres dan tidak berlaku untuk kepala daerah di bawah level gubernur.
“Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 20l7 tentang Pemilihan Umum sebagaimana telah dimaknai Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No 90/PUU-XXV2A23 terhadap frasa 'yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah' bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai 'yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat provinsi'. Sehingga bunyi selengkapnya 'Berusia paling rendah 40 tahun atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat provinsi',” demikian permohonan yang diajukan Brahma.
Selain itu, salah satu alasan pengajuan gugatan itu adalah latar belakang putusan MK yang menimbulkan pro-kontra. Sebab, terdapat persoalan konstitusionalitas pada frasa 'yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah'. Di mana tidak terdapat kepastian hukum pada tingkat jabatan apa yang dimaksud pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah.
“Sehingga timbul pertanyaan, apakah hanya hanya pada Pemilihan Kepala Daerah tingkat Provinsi saja? Atau juga pada Pemilihan Kepala Daerah tingkat kabupaten/kota? Atau pada pemilihan kepala daerah tingkat provinsi maupun kabupaten kota? Demikian pula pada pemilu pada pemilihan DPR saja? Atau pada tingkat DPRD tingkat Provinsi saja? Atau kabupaten/kota saja? Atau pada kesemua tingkatannya yakni DPR, DPD, DPRD provinsi dan kabupaten/kota.”
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari mengungkapkan bahwa hasil Putusan MKMK terkait pelanggaran kode etik bisa menjadi landasan etik untuk memperbaiki Putusan MK No 90 melalui pengajuan perkara baru.
Menurutnya, putusan MKMK terkait pelanggaran etik hakim hanya bisa digunakan sebagai alat bukti baru untuk alasan baru pengajuan perkara yang sama terkait dengan pasal 169 huruf q. Hal itu menurut dia sangat dimungkinkan karena selama ini sudah ada beberapa putusan MK yang diperbaiki lewat putusan setelahnya.
“Kalau terbukti melanggar etik mestinya putusan MKMK jadi landasan untuk MK memperbaiki putusan yang lama. Sebagaimana tradisi MK sebelumnya, MK sudah berkali-kali memperbaiki putusannya sendiri,” tukas Feri.
Dengan kondisi seperti itu, tentu menarik untuk melihat ujung permainan politik tepi jurang ala Jokowi. Siapa yang akan terjatuh ke jurang?