Refleksi Kasus Pembunuhan Ibu dan Anak di Subang: Sosok Psikopat Ada di Mana-mana, Bahkan di Lingkungan Terdekat
JAKARTA – Kasus pembunuhan ibu dan anak di Subang yang sempat tenggelam selama dua tahun lamanya kembali menjadi perbincangan selama sepekan terakhir.
Polisi akhirnya berhasil mengungkap kasus pembunuhan yang menewaskan Tuti Suhartini (55) dan Amalia Mustika Ratu (23) di Subang, Jawa Barat, setelah tidak menunjukkan kejelasan sejak 2021.
Pembunuhan ibu dan anak tersebut baru menemui titik terang setelah M Ramdanu menyerahkan diri dan membeberkan empat pelaku lainnya kepada polisi.
Selain Danu, Direktur Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda Jabar, Kombes Pol Surawan, telah menentukan empat tersangka lainnya dalam kasus ini, yaitu Yosep Hidayah (suami Tuti), Mimin Mintarsih (istri kedua Yosep), serta Arighi Reksa Pratama dan Abi (anak Mimin) pada 18 Oktober 2023.
Manipulatif Ciri Psikopat
Kasus ini sempat menyita atensi masyarakat, ketika ibu dan anak ditemukan tewas di dalam bagasi mobil di Dusun Ciseuti, Desa Jalan Cagak, Kecamatan Jalan Cagak, Kabupaten Subang, pada 18 Agustus 2021.
Yang membuat publik terkejut ketika polisi menyebut Yosep sebagai eksekutor pembunuhan. Itu artinya, Yosep sudah tega menghabisi nyawa anak dan istrinya sendiri.
Padahal saat pemakaman Tuti dan Amalia dilakukan dua tahun lalu, Yosep terlihat sangat terpukul. Tangisnya pecah ketika istri dan anaknya dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Istuning di jalan Cagak, Subang, Jawa Barat.
Menurut psikolog Tika Bisono, bukan tidak mungkin Yosep memiliki gangguan kejiwaan seperti psikopat atau sosiopat. Salah satu ciri psikopat atau sosiopat adalah dengan bersikap manipulatif seperti apa yang dilakukan Yosep di pemakaman.
Perilaku manipulatif adalah sikap yang ditujukan untuk memanipulasi orang lain. Dengan kata lain, manipulasi adalah upaya yang dilakukan seseorang untuk memengaruhi perilaku, sikap, dan pendapat orang lain tanpa disadari oleh orang tersebut.
Namun, Tika menuturkan, untuk menentukan apakah seseorang termasuk ke dalam psikopat maupun psikopat tetap dibutuhkan asesmen mendalam.
“Orang yang psikopat atau sosiopat bisa faking senormal mungkin, bisa menunjukkan poker face yang sempurna, bisa pura-pura nangis padahal dia yang melakukannya. Ini adalah kepribadian manipulatif, dan termasuk ciri orang psikopat ataupun sosiopat,” kata Tika Bisono kepada VOI.
“Biasanya setelah ada pemeriksaan psikologi forensik ditemukan gejala-gejala ini,” lanjut Tika.
Tumpukan Emosi yang Meledak
Kepada polisi Danu, salah satu tersangka pembunuhan, mengaku menyaksikan bagaimana tersangka lain menyiksa Amelia hingga tewas di hari kejadian. Menyiksa seseorang secara sadis, apalagi sampai menyebabkan meninggal dunia bukan hal yang bisa dilakukan oleh orang tanpa gangguan kejiwaan.
Dikatakan Tika, setiap manusia sebenarnya memiliki sisi positif dan sisi negatif. Ini adalah dua sisi yang biasa hadir secara normal. Namun menjadi tidak normal ketika dorongan negatif menguasai pikiran manusia.
Pada tingkat yang cukup parah, saat dorongan negatif ini lebih besar ketimbang dorongan positif, bisa menyebabkan manusia berperilaku psikopat maupun sosiopat.
Tapi Tika menjelaskan, perilaku psikopat dan sosiopat ini tidak terlahir begitu saja. Pola asuh keluarga di masa lalu bisa menjadi pemicu seseorang menjadi psikopat.
“Orang yang cenderung manipulatif, memiliki psychopath personality, sociopath personality, dan criminal mind biasanya dipicu oleh latar belakang keluarganya seperti apa,” imbuh psikolog senior ini.
“Biasanya, meski tidak selalu, diawali oleh rangkaian peristiwa buruk yang dia alami di masa lalu. Peristiwa-peristiwa buruk ini tidak ter-asses secara psikologi, tidak mendapat intervensi psikologi sehingga lama kelamaan berakumulasi,” kata Tika menjelaskan.
Lalu, mengapa manusia bisa melakukan penyiksaan yang begitu sadis seperti tanpa merasa berdosa?
Dituturkan Tika, rentetan peristiwa tidak menyenangkan di masa lalu yang terus menumpuk bisa membuat seseorang menjadi ‘buta’. Ledakan emosi seseorang yang menyimpan trauma bisa terjadi kapan saja, saat ada hal yang menjadi trigger atau pemicu.
“Ketika ada trigger, yang merespons bukan sosok dia yang sekarang, tapi emosi dan trauma negatif di masa lalu,” ucapnya.
Baca juga:
“Sehingga terjadinya ledakan emosi yang membabi buta. Ini terjadi karena adanya tumpukan emosi, sehingga dia tidak merasa bersalah, tidak merasa menyesal, karena ada tumpukan kemarahan dari dulu.”
Lalu Tika menambahkan, “Sebenarnya tidak ada orang yang mau seperti ini, tapi semua ini terjadi akibat pola asuh yang salah. Ada peristiwa traumatic yang tidak selesai.”